Tentang Kasus Kekerasan Seksual terhadap 13 Santriwati dan Pidana Mati bagi Pelaku

today3 tahun yang lalu
18
Apr-2022
54.3K
13

Siaran Pers Komnas Perempuan

Tentang  Kasus Kekerasan Seksual terhadap 13 Santriwati  dan Pidana Mati bagi Pelaku

Apresiasi atas Keputusan Pengadilan Bandung dalam Pemenuhan Hak-Hak 13 Santriwati Korban Kekerasan Seksual dan Mendorong Pidana Penjara Seumur Hidup

 

Komnas Perempuan terus memantaukasus kekerasan seksual terhadap 13 santriwati pondok pesantren di Bandung dengan pelaku HW, guru pesantren, yang menjadi sorotan publik sejakkasusnya disiarkan di berbagai media massa di Tanah Air pada 2021. Kasus kekerasanseksual 13 santriwati merupakan bagian dari fenomena gunung es terkaitkekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama dan berasrama. Kasusnyasendiri sudah berlangsunng sejak 2016 dan baru terungkap pada 2021. Sembilanbayi lahir akibat kekerasan seksual tersebut.

Sejak kasus-kasusnyaterungkap, wacana hukuman mati muncul seiring tuntutan publik untuk pemenuhanhak-hak 13 santriwati korban kekerasan seksual. Wacana tersebut tak hanyabergulir di media massa, juga menjadi topik perbincangan dalam berbagaiwebinar. Komnas Perempuan  menerimapermintaan wawancara dari berbagai media dan menjadi narasumber yangdiselenggarakan lembaga pendidikan tinggi dan organisasi masyarakat sipil.

Dalam pemantauan KomnasPerempuan, kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama dan berasramatergolong tinggi dibandingkan lembaga pendidikan secara umum. Komnas Perempuanjuga mencatat kerentanan-kerentanan khusus anak perempuan korban kekerasan  seksual. Pertama, relasi kekuasaan berlapisantara pelaku selaku pemilik pesantren dan guru pesantren yang memilikipengaruh dan dapat memanfaatkan pengaruhnya dengan santriwati. Kedua, publikyang menempatkan pemilik pesantren dan guru pesantren pada posisi terhormat.Ketiga, ketakutan korban dan keluarganya baik karena adanya ancaman maupunposisi terhormat pelaku. Keempat, korban dan keluarganya juga ketakutanmengalami hambatan-hambatan dalam proses pendidikan akibat kekerasan seksualyang dialaminya. Di tengah-tengah kerentanan-kerentanan ini, Komnas Perempuanmengapresiasi keberanian 13 santriwati dan keluarganya untuk bersuara serta pendampingyang setia memfasilitasi agar kebenaran kasus terungkap.

Atas putusan pidanamati, sejak semula Komnas Perempuan telah menyampaikan pandangannya melaluimedia massa dan webinar yang didasarkan prinsip dan norma hak asasi manusia(HAM) internasional dan perundang-undangan nasional. Hak untuk hidup merupakannorma dasar dalam instrumen HAM internasional maupun nasional. Penghormatanterhadap hak atas hidup adalah komitmen global untuk menghentikan segala bentukpenghilangan nyawa manusia di seluruh dunia, seperti pembunuhan, honourkilling, femisida, genosida dalam konteks perang dan atau konflik sosialbersenjata dan penghukuman mati. Atas putusan pidanamati terhadap HW dan di tengah-tengah tuntutan publik agar HW dihukum mati, KomnasPerempuan mendorong pengadilan untuk mempertimbangkan sanksi hukuman penjaraseumur hidup seturut dengan prinsip dan norma HAM internasional. Menolakhukuman mati bukan berarti tidak mendukung korban. Deklarasi Universal HAM Pasal3 menyatakan, “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatansebagai individu” (UU No. 39/1999 tentang HAM); Pasal 9 berbunyi, “Setiaporang berhak untu hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan tarafkehidupannya.” Pasal 33 ayat (1) “Setiap orang berhak untuk bebasdari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi,merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.” Juga Kovenan HakSosial Politik. (a)   Pasal 6: “Setiapmanusia berhak atas hak hidup yang melekat pada dirinya”. (b) Pasal 7. “Tidakseorang pun dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yangkejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat  manusia”.

Komnas Perempuan mengapresiasiputusan Pengadilan Bandung menyangkut hak atas pemulihan, restitusi dan hak parakorban dalam memberikan persetujuan untuk perawatan dan pengasuhan anak. Hakimbanding mengoreksi bahwa restitusi adalah hak para korban dan merupakan kewajibanpelaku untuk memulihkan dampak kekerasan seksual yang dialami para korban, denganbiaya yang bersumber dari kekayaan pelaku dan bukan negara. Dengan mengoreksisebagai hak korban dan bukan pidana tambahan maka putusan  maksimal dapat  ditetapkan sebagai pemenuhan kewajibanmembayar restitusi. Demikian juga halnya untuk perawatan dan pengasuhananak-anak, menjadikan persetujuan korban dan keluarganya sebagai prasyaratsebelum anak-anak yang lahir dari pemerkosaan/kekerasan seksual diasuh oleh negara.Restitusi akan digunakan untuk memenuhi biaya hidup anak-anak korban dan biayapendidikan hingga mereka dewasa. Putusan ini sejalan dengan amanat RUU TindakPidana Kekerasan Seksual (TPKS)  tentangpemulihan dan restitusi dan berkontribusi pada perumusan restitusi dalam UU TPKSyang disahkan pada 12 April 2022 yang lalu.

 

Narasumber:

1.              RainyHutabarat

2.              VeryantoSitohang

3.              Siti Aminah Tardi

Narahubung:0813-8937-1400


Pertanyaan/Komentar
clear
clear
location_on
Jl. Latuharhary No.4B 1, RT.1/RW.4, Menteng, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10310
call
Nomor Telpon/Fax
+62-21-3903963
+62-21-3903922 (Fax)
mail
Surat Elektronik
public
Ikuti Kami
privacy_tip
Disclaimer
Semua materi didalam website komnasperempuan.go.id diperuntukan bagi kepentingan HAM khususnya dalam Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia
Copyright © 2023. Komnas Perempuan