Siaran Pers
Peluncuran Hasil KajianStrategik Komnas Perempuan dan Lemhannas RI, 1 Des 2021
“Strategi Percepatan Penanganan
Kebijakan Diskriminatif Atas Nama Otonomi Daerah Guna
Memperkokoh Ketahanan Nasional”
Jakarta, 02 Desember 2021
Pengakuan adanya diskriminasi pada suatukebijakan merupakan langkah penting bagi negara dalam merumuskan arah kebijakankoreksi secara sistemik pada persoalan yang ada. Kebijakan koreksi itu akanmenentukan upaya pencegahan dan penanganan, sehingga dampak diskriminasiberkelanjutan yang dialami perempuan dan kelompok minoritas atau warga negarasecara umum tidak terus-menerus berlangsung dan dilanggengkan melalui kebijakannegara. Salah satu langkah mendesak adalah bagi Kementerian Dalam Negerimenggunakan kewenangan pembatalan kebijakan kepala daerah dalam menanganikeberadaan kebijakan diskriminatif atas nama otonomi daerah.
Komnas Perempuan sejak tahun 2007mencermati kelahiran kebijakan daerah yang diskriminatif atas nama otonomidaerah, agama, moralitas dan kehendak mayoritas. Kebijakan serupa ini dapatlahir karena mekanisme pengawasan otonomi daerah belum sempurna. Menggunakanproses demokrasi yang bersifat formalitas, perumusankebijakan diskriminiatif kerap membungkam suara-suara yang berbeda pandang,termasuk melalui berbagai cara intimidasi dan peminggiran. Kebijakan ini secarakhusus menempatkan perempuan sebagai target kontrol, mengurangi pelindungan dankepastian hukum, serta menghadirkan secara langsung maupun tak langsungdiskriminasi yang berlapis, karena identitasnya sebagai perempuan dan darikelompok minoritas, juga marginal.
“Selain mengurangi kapasitas negara dalam memberikan pelindungan dankepastian hukum terutama pada perempuan, kebijakan diskriminatif serupa inijuga membuat marka identitas daerah yang menonjolkan preferensi pada satuentitas tertentu dari kelompok mayoritas yang bertentangan dengan wawasannusantara,” ungkap Andy Yentriyani, ketua Komnas Perempuan. Dalam pemantauanKomnas Perempuan, kebijakan daerah yang diskriminatif ini terus bertumbuh dari154 kebijakan pada 2019 hingga mencapai 421 kebijakan di tahun 2016.
Persolan di atas inilah yang mendasari upaya untuk mencari strategipercepatan penanganan kebijakan diskriminatif atas nama otonomi daerah yangdigagas bersama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KomnasPerempuan) dan Lembaga Ketahanan Nasional RI (Lemhannas) yang dilansir bagipublik pada Rabu (01/12/2021).
PemerintahIndonesia telah melakukan penyikapan dengan meletakan upaya pencegahan danpenanganan kebijakan diskriminatif melalui desain RPJMN dua periode pemerintahan baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono danPresiden Jokowi 2015-2019 hingga saat ini. Namun pada upaya pencegahan danpenanganan kebijakan diskriminatif ditemukan banyak sekali hambatan sertakelemahan pada tingkat pemahaman, komitmen dan konsolidasi. Misalnya, pada Juni 2016, Kementerian dalamNegeri (Kemendagri) telah membatalkan 3.143 perda terkait retribusi dan pajak,sementara hingga 2019 hanya ada 38 dari 421 (9%) dari kebijakan daerah yang diskriminatifyang diklarifikasi. Upaya sistemik pada awal tahun 2021 melalui SKB tigamenteri (Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian AgamaRI) mendapatkan perlawanan dari masyarakat dan tidak didukung oleh MahkamahAgung, yang menggambarkan lemahnya konsolidasi penghapusan diskriminasi di tingkatpenyelenggara negara.
Komnas Perempuan dan Lemhannas RI sejak2020 telah melakukan kajian pada persoalan kebijakan diskriminatif dalamkerangka otonomi daerah dan langkah-langkah yang telah dilakukan, dan sehinggadapat mendukung Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk terus bahu-membahu danmengkonsolidasikan percepatan secara sistemik penanganan dan pencegahankebijakan diskriminatif. Menengenai urgensi percepatan penanganan kebijakandiskriminatif dalam kerangka ketahanan nasional, Gubernur Lemhannas, AgusWidjojo, dalam sambutannya menyebutkan bahwa:
“Produk hukum diskriminatif akan menjadi bomwaktu, menyebabkan konflik sosial antar etnik, agama, dan ikatan sosio-kulturallainnya. pembatasan hak asasi manusia – termasuk kebebasan beragama,berserikat, dan berekspresi – melemahkan hubungan antara negara dan warganya,dan potensi manusia sepenuhnya dari rakyat Indonesia.”
Kajian bersama ini melibatkan lebih dari20 ahli berbagai disiplin ilmu baik dari ahli hukum, tata negara, perspektif Hak Asasi Manusia dan perempuan, kajianagama, serta perundang-undangan. Kajian ini juga menggali pandangan-pandangan dari Pemerintah danPemerintah Daerah untuk upaya memberikan kontribusi bagaimana melakukanpercepatan penanganan kebijakan diskriminatif yang masih tersebar di beberapadaerah. Melalui diskusi terfokus di dua wilayah, lima diskusi terfokus denganahli, kajian ini memberikan langkah-langkah rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti oleh Pemerintah secara serius dalam memastikan upaya sistemik melakukanpenanganan dan pencegahan kebijakan yang memuat dan berdampak diskriminasi padawarga negara khususnya perempuan.
Kajianstrategik ini dilatarbelakangi oleh fakta temuan hasil kajian dan dokumentasikomnas perempuan pada pelembagaan diskriminasi yang termuat dalamkebijakan-kebijakan di daerah. Sejak tahun 2010 yang jumlahnya 154, dan padatahun 2016 jumlahnya meningkat melebihi 100% mencapai 421 kebijakan, denganpenanganan yang belum sistemik. Kebijakan diskriminatif bukan saja berdampak buruk pada kehidupanperempuan dan kelompok minoritas secara khusus yang menjadi target, tetapi jugasecara umum bagi warga negara, serta penurunan ketahanan nasional.
Kajian ini mendalami empat (4) halpersoalan, antara lain (1) bagaimana pengakuan Pemerintah dan Pemerintah Daerahpada pelembagaan diskriminasi yang termuat pada kebijakan-kebijakan yang ada didaerah maupun tingkat nasional, (2) bagaimana langkah percepatan penanganan (3)bagaimana langkah percepatan pencegahan (4) dan bagaimana dampaknya denganketahanan nasional. Lebihlengkap tentang hasil kajian strategik ini dapat dibaca di https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/1657.1638627812.pdf
Komnas Perempuan dan Lemhannasmengapresiasi tanggapan positif dari berbagai kementerian dan ahli atas hasilkajian dan kesediaan untuk bekerja bersama dalam menindaklanjuti rekomendasipada strategi percepatan tersebut. Hadir langsung memberikan tanggapan padadiskusi publik ini adalah a) Asisten Deputi Bidang KesatuanBangsa Kemenkopolhukkam, Bapak Temmanengnga, S.IP, MA, b) Prof. Muchlis Hamdi,MPA, Ph.D, Staf Khusus Mendagri Bid. Pemerintahan Kemendagri, c) Dra. LenyNurhayanti Rosalin, M.Sc - Deputi Bidang Kesetaraan Gender KPPPA, dan paraahli, yaitu Dr. Anhar Gonggong, Dr. Maruar Siahaan, dan Dr. Indraswari, MA.
Narasumber
1. Imam Nahei
2. Olivia Chadijah Salampessy
3. Andy Yentriyani
Narahubung
Christina Yulita (yulita@komnasperempuan.go.id)