SiaranPers
MemperingatiHari Ibu, 93 Tahun Gerakan Perempuan Indonesia
Melanjutkan Juang HariIbu: Prioritaskan Perlindungan Perempuan dari Kekerasan Seksual
Jakarta, 22 Desember 2021
Sembilan puluh tiga tahun telah berlalu sejak berlangsungnya KongresPerempuan, berbagai kemajuan di segala bidang telah dirasakan oleh perempuanIndonesia. Namun di sisi lain, pada 2021 ini perempuan Indonesia belummendapatkan rasa aman dari ancaman kekerasan, terutama kekerasan seksual yangbisa terjadi di berbagai ranah kehidupan, baik itu di ranah personal dan rumahtangga, di tempat kerja, di lembaga pendidikan, serta di komunitas. Percepatanpewujudan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan perlu dipastikan sebabketimpangan berbasis gender adalah akar dari tindak kekerasan terhadapperempuan.
Pada 22-25 Desember 1928 telah diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesiayang pertama di Yogyakarta. Kongres ini dihadiri sekitar 30 organisasiperempuan dari berbagai wilayah Indonesia. Kongres tersebut membahas berbagaipersoalan perempuan yang perlu disikapi segera saat itu, agar dapat dipenuhihak dan perlindungannya.
Kini kemajuan perempuan dapat dilihat di berbagai bidang, seperti aksespendidikan, pekerjaan, ilmu pengetahuan, teknologi, politik, serta peran-peranpublik lainnya. Banyak perempuan telah menduduki peran-peran strategis, baiklegislatif, yudikatif dan eksekutif. Tidak sedikit perempuan Indonesia yangberprestasi dalam bidang ilmu pengetahuan dan meraih gelar doktor dan profesor. Di sektor swasta pun banyak perempuanyang menduduki jajaran manajer dan bergerak di dunia usaha/sektor bisnis,bahkan menjadi wirausahawan sukses yang berkontribusi pada penguatan ekonominasional dan menciptakan lapangan kerja.
Di sisi lain, Catatan Tahunan KomnasPerempuan 2021 merekam bahwa sepanjang tahun 2020 terjadi 299.991 kasuskekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke berbagai lembaga pengadalayanan. Dari beberapa bentuk kekerasan, seperti kekerasan fisik, psikis,ekonomi dan kekerasan seksual, maka kekerasan seksual menduduki urutantertinggi, yaitu 45.6% yang terjadi di ranah publik/komunitas dan 17,8% di ranah personal/KDRT. Perkosaan menduduki urutan kedua setelah inses(882 kasus), yaitu berjumlah 792 kasus perkosaan. Perempuan dengan disabilitaspun tak luput dari tindak kekerasan seksual. Bahkan dari seluruh jumlah kasuskekerasan terhadap perempuan disabilitas, 79% adalah kekerasan seksual.
Kondisi dunia pendidikan kita juga patut menjadi keprihatinan dan perhatianserius. Berita kekerasan seksual di Lembaga Pendidikan, baik tingkat menengahmaupun pendidikan tinggi, baik pendidikan umum maupun berbasis keagamaan, terusmewarnai sejumlah media. Hal ini diperkuat CATAHU Komnas Perempuan di mana kekerasan di lembaga pendidikan menduduki 4,2%, dan pelaku kekerasanseksual ini justru berprofesi sebagai pendidik, yaitu guru, guru ngaji/ustad,tokoh agama dan dosen. Kekerasan seksual ini terjadi karena ada relasi kuasaantara korban dan pelaku. Berdasar sejumlah kasus yang ada, kasus baruterungkap beberapa tahun kemudian setelah pelaku memakan banyak korban. Budayabungkam karena adanya relasi kuasa dan intimidasi sertaanggapan “keliru” yang masih mengakar dalam masyarakat mengenai kekerasanseksual sebagai aib yang harus ditutupi, menyebabkan banyak korban kekerasantidak mendapat perlindungan dan keadilan.
Sementara itu, kebijakan yang diharapkan menjadi payunghukum bagi para korban kekerasan seksual untuk mendapat perlindungan dankeadilan, yaitu Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUUTPKS) tak kunjung disahkan. RUU ini sudah diusulkan oleh Komnas Perempuanbersama Jaringan Masyarakat Sipil dan Forum pengada layanan sejak tahun 2012dan masuk dalam Prolegnas DPR RI pada Januari 2016. Karena terus menjadiperdebatan, naskah ini tersendat di DPR RI periode 2014-2019. RUU tersebutkemudian diusulkan kembali kepada DPR RI periode berikutnya. Sayangnya, belumkunjung disahkan sebagai RUU inisiatif DPR RI hingga sekarang. Perbedaan sudut pandang yang cenderungdiwarnai oleh kepentingan politik seolah menutup mata dan telinga sertamengabaikan suara perempuan korban kekerasan seksual yang makin tragis dengandampak yang semakin kompleks.
Menyikapi situasi ini, Gerakan perempuan Indonesia dari berbagaielemen dan organisasi, akademisi, praktisi hukum, aktivis, Lembaga layanan, dllterus berupaya mendesak pemerintah segera mengesahkan. Payung hukum bagi korbankekerasan seksual untuk mendapat perlindungan dan keadilan, serta pemulihan sangat mendesak mengingat kekerasan seksual dapat terjadi danmengancam perempuan di segala ranah.
Di tengah situasi ini, harapanpenanganan yang lebih baik terus bertumbuh, khususnya di LembagaPendidikan. Ada dua kebijakan pemerintahdalam merespon maraknya kekerasan seksual di pendidikan tinggi, yaitu SK DirjenNo 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, dan PeraturanMenteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek)Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS)di Lingkungan Perguruan Tinggi. Meski sempat menuai polemik, semakin banyakpihak di lingkungan perguruan tinggi yang mendukung implementasi dari kebijakantersebut.
Melanjutkan semangat Gerakan perempuan pada 22 Desember 1928, KomnasPerempuan sebagai Lembaga negara yang independen dengan mandat menciptakankondisi yang kondusif dalam penghapusan segala bentuk kekerasan terhadapperempuan, merekomendasikan dan menyerukan kepada:
1. DPR RI dan Pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Tindak Pidana KekerasanSeksual yang sudah didesakkan oleh Gerakan masyarakatsipilselama 9 tahun terakhir, mengingat Indonesia dalam kondisi darurat kekerasanseksual
2. Masyarakat sipil dari semuaelemen, baik organisasi massa keagamaan, organisasi mahasiswa, lembaga swadayamasyarakat, akademisi, mahasiswa, pelajar, organisasi profesi, lembagapendamping, lembaga layanan, dll, untuk terus memantau proses pembahasan danterus mendesak pemerintah untuk mengesahkan RUU TPKS demi menciptakan rasakeadilan bagi perempuan korban
3. Lembaga Pendidikan untuk segera merespon cepat dan tepat atas lahirnyakebijakan-kebijakan progresif yang telah diterbitkan oleh Kementerian Agama danKementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, dengan mengembangkankebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual lingkungan kampus dan lingkungan pendidikan lainnya.
Narasumber
Alimatul Qibtiyah
Imam Nahe'i
Maria Ulfah Anshor
Mariana Amiruddin
Andy Yentriyani
Narahubung
Ngatini (tini_sastra@komnasperempuan.go.id)