Siaran Pers Komnas Perempuan
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Pidie, Aceh
Gunakan UU TPKS untuk Penanganan Komprehensif dan Pemenuhan Hak Korban Kekerasan Seksual, Termasuk di Provinsi Aceh
Jakarta, 11 November 2022
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengapresiasi jajaran Polres Pidie yang telah melakukan proses hukum terhadap BT (48), tersangka kekerasan seksual terhadap sejumlah ibu muda di Kecamatan Padang Tiji Kabupaten Pidie dan telah menyampaikan berkas perkara kepada Kejari Pidie. Untuk kepentingan terbaik bagi korban kekerasan seksual agar dapat mengakses kebenaran, keadilan dan pemulihan, Komnas Perempuan berpendapat bahwa proses hukum pada kasus ini dan kasus-kasus kekerasan seksual lainnya di Aceh perlu mengacu pada UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Komnas Perempuan mencermati proses hukum kasus ini melalui pemberitaan media dan rilis yang disampaikan oleh organisasi masyarakat sipil di Aceh. Kekerasan seksual yang dilakukan BT ini dikenali dengan sebutan “pesulap hijau” karena pelaku menggunakan jubah dan peci berwarna hijau saat melakukan kekerasan seksual. Pelaku melakukan kekerasan seksual dalam bentuk pencabulan dan/atau persetubuhan dengan modus pengobatan alternatif, terhadap Ibu rumah tangga muda yang sedang ditinggal merantau suaminya. Kondisi ini telah berlangsung selama lima tahun. Atas tindakannya ini, BT disangkakan dengan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat, yaitu pasal Jarimah Pemerkosaan yang diatur dalam Pasal 48 junto Pasal 52 tentang alat bukti sumpah yang dilakukan korban.
Komnas Perempuan berpendapat bahwa kasus BT memuat unsur-unsur tindak kekerasan seksual dalam bentuk eksploitasi seksual, sebagaimana diatur pada Pasal 12 UU TPKS. Dalam kasus ini BT telah menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan para ibu rumah tangga yang mempercayai BT mampu menyembuhkan sakitnyauntuk mendapatkan keuntungan keinginan seksualnya. Ancaman pidana eksploitasi seksual adalah 15 tahun penjara atau denda sebesar 1 milyar rupiah.
Dengan menggunakan UU TPKS, maka korban juga memiliki hak untuk mendapatkan pelindungan dan pemulihan sejak pelaporan dilakukan hingga pasca persidangan. Termasuk di dalam hak korban adalah kerahasiaan identitas, pelindungan dari sikap yang merendahkan dirinya, bantuan hukum layanan kesehatan fisik dan psikis, restitusi dan kompensasi serta dukungan untuk pemberdayaan dan reintegrasi sosial. Pemenuhan hak korban merupakan tanggung jawab dari pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah dan dapat melakukan koordinasi lintas sektor dan wilayah untuk memastikan layanan komprehensif berkualitas.
Karenanya, Komnas Perempuan berpendapat bahwa UU TPKS lebih tepat digunakan dalam kasus kekerasan seksual, termasuk kasus BT dan kasus-kasus lain kekerasan seksual di Aceh. UU TPKS memiliki pengaturan yang lebih komprehensif, terutama dalam memastikan penyelenggaraan pemenuhan hak korban melalui pengaturan hukum acara pidana dan jaminan hak korban atas perlindungan, penanganan dan pemulihan. UU TPKS juga memuat pidana tindak pidana kekerasan seksual yang lebih luas daripada yang dikenali di dalam UU lainnya, dan daripada pengaturan di Qanun Jinayat.
Komnas Perempuan juga perlu mengingatkan bahwa pengaturan kekerasan seksual di Qanun Jinayat memiliki permasalahan substantif intrinsik yang menghambat akses korban pada keadilan dan pemulihan. Qanun Jinayat atau peraturan daerah tentang pidana dimaknai sebagai wujud otonomi khusus Aceh. Terdapat 10 (sepuluh) jarimah atau tindak pidana yang diatur dalam Qanun Jinayat, yang dapat dibagi dalam 3 (tiga) unsur penting yang membedakan antara satu jarimah dengan jarimah lainnya yaitu: (1). Jenis perbuatannya berdasarkan perbuatan yang dilarang syariat; (2). Dasar perbuatannya karena kerelaan (korbannya diri sendiri) dan akibat paksaan/ ancaman/kekerasan (korbannya orang lain); dan (3). Objeknya seksualitas dan di luar seksualitas. Delapan dari sepuluh didasarkan pada kerelaan atau persetujuan dan dianggap sebagai pelanggaran pada norma sosial, sedangkan dua diantaranya yaitu jarimah perkosaan dan pelecehan seksual yang merupakan kekerasan atau tanpa persetujuan korban. Mencampurkan perbuatan yang merupakan kekerasan/tanpa persetujuan dengan perbuatan yang dengan persetujuan, menyebabkan korban perkosaan atau pelecehan seksual kerap dituduh sebagai pelaku jarimah lainnya ketika tidak mampu membuktikan kekerasan atau ancaman kekerasannya. Hal ini tampak dari penggunaan Pasal 52 tentang kewajiban korban membawa bukti permulaan dan sumpah korban sebagai alat bukti. Artinya, negara membebankan kewajiban pembuktian justru pada korban kekerasan seksual.
Selain itu, dalam Qanun Jinayat ketika korban tidak mampu menghadirkan bukti dan telah bersumpah, maka pelaku juga dimintakan untuk bersumpah. Pengaturan ini serupa dengan penanganan kasus zina, di mana saksi diutamakan adalah saksi yang melihat jarimah. Karenanya, yang lebih didengar adalah sumpah pelaku dan atas dasar sumpah itu, pelaku akan dibebaskan dari ancaman hukuman. Lebih lanjut, cambuk bagi pelaku lebih kerap dipilih sebagai bentuk penghukuman karena menjadi simbol otonomi khusus Aceh. Padahal, berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan dan berbagai kelompok masyarakat sipil di Aceh, bentuk penghukuman itu telah menyebabkan perempuan korban berulang mengalami teror dan intimidasi oleh pelaku. Hukuman ringan pada pelaku hanya membuat perempuan korban merasa tidak adil dan tetap mengalami diskriminasi.
Dalam kerangka merawat integritas hukum nasional, termasuk tidak adanya diskriminasi dalam penyelenggaraan pelindungan hukum yang merupakan mandat Konstitusional, berkait dengan kasus BT ini, Komnas Perempuan merekomendasikan:
Narasumber:
1. Imam Nahei
2. Alimatul Qibtiyah
3. Siti Aminah Tardi
4. Andy Yentriyani
Narahubung: 0813-8937-1400