Siaran Pers Komnas Perempuan tentang Saran dan Masukan Kepada Calon Pemimpin Bangsa 2024-2029 Menuju Indonesia Emas

todayKamis, 18 Januari 2024
18
Jan-2024
1.1K
0

Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (KomnasPerempuan) memandang penting Pemilu 2024 sebagai salah satu mekanismemewujudkan demokrasi suatu negara dan melanjutkan kepemimpinanbangsa, baik di DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi/kota/kabupaten dan presiden sertawakil presiden. Secara khusus Presiden dan wakil presiden akan menjadi cerminandari kehadiran negara, termasuk dalam menghormati (to respect),melindungi (to protect) mempromosikan (to promote) dan memenuhi (tofulfill) hak-hak asasi setiap warganya, termasuk hak Perempuan. Mengingat Indonesia telah meratifikasikonvensi-konvensi utama dan perjanjian internasional terkait HAM dan telah menjadikannya  sebagai hak konstitusional.

Komnas Perempuan berpandangan bahwa untuk mencapai visi RencanaPembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yaitu “NegaraNusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan” atau Indonesia Emas, masih terdapatsejumlah tantangan dan rekomendasi dalam upaya mewujudkan pemajuan, pelindungandan pemenuhan hak-hak perempuan. Untuk menjawab tantangan hak asasi perempuan,Komnas Perempuan telah menetapkan beberapa isu isu strategis 2025-2030 yangmerupakan upaya pencapaian Indonesia Emas perlu mendapat kepedulian perhatian pemimpinbangsa utamanya capres/cawapres, yaitu:

 

1.     KelembagaanLembaga Nasional Hak Asasi Manusia (LNHAM)

Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (LNHAM) adalah Lembaga independen dengan tugas memantau,memberikan saran dan masukan terkait pemajuan, pelindungan dan pemenuhan HAM kepada eksekutif, legislatif,yudikatif dan organisasi masyarakat sipil. Komnas Perempuan dan tiga LNHAMlainnya (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia/Komnas HAM, Komisi Perlindungan AnakIndonesia/KPAI dan Komisi Nasional Disabilitas/KND) perlu diperkuat agar mampu menjalankanmandatnya secara optimal dalam melakukan check and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

 

2.     Kekerasanterhadap Perempuan dalam Konteks Konflik, Perubahan Iklim dan Bencana

Perempuan, anak, penyandang disabilitas, lansiadan masyarakat hukum adat merupakan kelompok yang paling terdampak buruk dalam konflik,perubahan iklim maupun bencana. Budaya patiarki meneguhkan kerentanan dan bebanberlapis pada perempuan dalam konteks konflik, perubahan iklim dan bencana. Konflikdapat bersumber dari persoalan politik termasuk politik identitas, krisis ekonomi,konflik sumber daya alam dan tata ruang, dan kesenjangan sosial dalammasyarakat. Persoalan kekerasan berbasis gender juga dapat beririsan dengankonflik sosial akibat kebijakan dan peraturan perundang-undangan yangdiskriminatif terhadap perempuan. Para pemimpin terpilih perlu menghadirkanpengaturan kebijakan pembangunan yang lebih mumpuni untuk mencegah konflik.Juga, memberikan dukungan lebih kuat agar kelompok kerja (Pokja) antar kementerian/lembagayang meninjau ulang berbagai peraturan daerah diskriminatif dapat membuat terobosanbaru untuk membatalkan dan mencegah peraturan dan kebijakan daerahdiskriminatif, termasuk melalui fungsi Mahkamah Agung. 

Pemanasanglobal dapat berakibat bencana lingkungan yang menyebabkan krisis ekonomi yangdisertai kelangkaan sumber pangan dan air bersih, ancaman  penyakit, kehilangan tempat tinggal,pemiskinan dan menimbulkan gejolak sosial dan pengungsi internal. Pemerintah penting memastikan adanya kebijakandan perundangan-undangan serta pelaksanaannya untuk menjamin pembangunan berkelanjutantermasuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keadilan Iklim dan RUUMasyarakat Hukum Adat.

 

3.     Penyiksaan,Penghukuman, atau Perlakuan yang Kejam atau Tidak Manusiawi lainnya Berbasis Genderterhadap Perempuan

Hak untukbebas dari penyiksaan merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisiapa pun. Meski pemerintah Indonesia telah meratifikasi CAT, pengaduan-pengaduan langsung ke lembaga-lembaga HAM yang tergabung dalam Kerjasama untukPencegahan Penyiksaan (KuPP) yang terdiri dari  Komnas HAM, KomnasPerempuan, KPAI, Lembaga Perlindungan Korban dan Saksi (LPSK), Ombudsman RI(ORI) dan KND, kunjungan ke tempat-tempat tahanan dan serupa tahanan sertapemberitaan luas media massa menunjukkan bahwa praktik penyiksaan dan perlakuantidak manusiawi, termasuk yang berbasis gender terhadap perempuan, anak dandisabilitas seperti kekerasan seksual masih banyak dilakukan oleh aparatpenegak hukum, petugas lapas, danaktor-aktor negara lainnya. Para pemimpin bangsaperlu memastikan uji tuntas untuk pencegahan tindak penyiksaan danperlakuan atau penghukuman tidak manusiawi terhadap siapa pun sebagaimanadiamanatkan Konvensi Menentang Penyiksaan, a.l. dengan meratifikasi protokolopsional Konvensi Menentang Penyiksaan, memperkuat kapasitas aparat penegakhukum dan mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk mencegah terjadinyapenyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi.

 

4.     Kekerasan Seksual

Komnas Perempuan mencatat dalam rentang 22 tahun,diperkirakan  lebih dari 60 ribu kasuskekerasan seksual dilaporkan ke Komnas Perempuan dan pengada layanan, baik diranah personal (24,480 kasus) dan di ranah publik (36,446 kasus). Kekerasan seksualyang dimaksud terutama perkosaan, pelecehan seksual daneksploitasi seksual yang terjadi dalam kondisis sehari-hari. Belum lagi yangterjadi dalam situasi khusus, seperti Tragedi Mei1998 dan beragam kondisi konflik di berbagai daerah. Tragedi Mei 1998 menjadipemicu  lahirnya berbagai lembaga layananbagi perempuan korban kekerasan  dilingkungan gerakan masyarakat melalui women crisis centre, fasilitaskesehatan  melalui Pusat Krisis Terpadu (PKT) maupun di lingkungankepolisian yang kini menjadi  UnitPelayanan Perempuan dan Anak (UPPA), serta Pusat Pelayanan Terpadu UntukPerlindungan Perempuan Dan anak (P2TP2A). Komnas Perempuan juga ikut membidani lahirnyaLembaga Perlindungan Saksi dan korban (LPSK) sebagai salah satu upayastrategis penanganan kasus KBG. Keberanian perempuan korban untuk bersuara mendoronglahirnya UU No.12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Pemimpin bangsautamanya presiden dan wakil presiden ke depan, berkewajiban untuk mengakui dan menyelesaikan dugaan kekerasanseksual dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, termasuk perkosaan masalTragedi Mei 1998; memastikanperaturan pelaksana UU TPKS diterbitkan, serta menyediakan alokasi anggaran daninfrastruktur yang memadai untuk penanganan kasus KBG termasuk perempuanpenyandang disabilitas di setiap jenjang pemerintahan. Juga, merevisi Perpres No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan agar korban tindak pidana (KDRT, TPKS,TPPO) dapat mengakses layanan kesehatan darurat dan layanan lanjutan untukpemulihan atau menyediakan peraturan agar korban tindak pidana mendapatkanlayanan kesehatan pertama dan lanjutan.

 

5.     RuangAman Perempuan dalam Keluarga dan Dunia Kerja

Selama 22tahun CATAHU Komnas Perempuan, kekerasan di ranah personal selalumenempati urutan tertinggi, atau selalu lebih dari 70% dari total pengaduankasus. Ini menunjukkan bahwa keluarga, perkawinan dan rumah tangga bukan merupakanruang aman bagi perempuan dan anak perempuan. Membangun “keluarga tanpa kekerasan”dengan mengedepankan relasi gender yang setara dan adil antara laki-laki dan perempuandan kemajemukan model keluarga perlu dipastikan menjadi perhatian para pemimpin2024. Untuk itu, pemimpin bangsa, utamanya presiden dan wakil presiden, perlu mengoreksi elemendiskriminatif berbasis gender dan disabilitas pada UU Perkawinan, memastikan penguatankapasitas aparat penegak hukum dan lembaga layanan tentang UU Penghapusan Kekerasan Dalam RumahTangga (UU PKDRT), UU Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), mengembangkan programrehabilitasi dan membangun instrumen deteksi dini untuk mencegah KDRT berakhirdengan femisida.

KomnasPerempuan mencatat, pembagian peran gender juga telah mengakibatkan subordinasiatas kerja-kerja di sektor domestik dan keperawatan (caring work).Pekerjaan kerumah-tanggaan termasuk perempuan pekerja migran Indonesia dinilai tidaksetara dengan pekerjaan lainnya. Hal ini menyebabkan pekerjaan di sektor rumah tangga,pekerjaan perawatan dan pengasuhan seperti caregiver untuk lansia, bayi,disabilitas atau orang sakit, menjadi kurang diakui, berupah rendah dan tanpa pelindungandari negara. Di sisi lain, untukmenjembatani keluarga di mana kedua orang tua bekerja dan/atau dalam masapemberian ASI, dibutuhkan ketersediaan day-care, pemenuhan hakmaternitas perempuan pekerja dan ruang laktasi yang memadai serta aman dari kekerasanberbasis gender. Pemimpin bangsa utamanya presiden dan wakil presiden karenanya berkewajiban untuk mendorongpembahasan dan pengesahkan RUU Perlindungan PRT (PPRT) sebagai bentuk pelindungandan pengakuan pada PRT, memperkuat implementasi UU Perlindungan Pekerja MigranIndonesia dan mengsinkronisasikan RatifikasiKILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja dengan UU TPKS.

Dalam kontekshukum keluarga, masih ada perkawinan yang belum tercatat dan yang tidak dapatdicatatkan, pemaksaan perkawinan termasuk perkawinan anak dan menikahkan perempuankorban kekerasan seksual dengan pelaku; kejahatan terhadap  perkawinan seperti perzinahan, poligami sertadampak perceraian yang memiskinkan perempuan atau menjadi sumber konflik baru keluargaberupa perebutan hak asuh anak atau tidak dapat dilaksanakannya putusan pengadilan.Semua ini memberikan kerugian yang tidak proporsional bagi perempuan. Dibutuhkanintervensi negara untuk membangun hukum keluarga yang berkeadilan bagi perempuan,di antaranya mendorong pemenuhan hak perempuan yang melakukan pernikahan yangbelum tercatat atau pernikahan adat, perkawinan campur, dan perkawinan bedaagama, memfasilitasi pendampinganpsikis, sosial dan ekonomi kepada perempuan korban perkawinan anak agar tetapdapat mengakses hak atas pendidikan lebih lanjut dan kehidupan keluarga yangadil dan sejahtera.

 

6.     Kekerasan terhadap Perempuan dalam KonteksPerkembangan Digitalisasi dan TIK

Kemajuan teknologi digital dan internet berpotensimemperburuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Kerentanan perempuandi ruang luring bermigrasi ke ruang digital berupa (1) Kekerasan Siber BerbasisGender (KSBG); (2) Layanan keuangan digital merentankan perempuan menjadisasaran pinjaman online ilegal karena tekanan ekonomi sehari-hari; (3) Meskipun digitalisasi membuka peluang kerja baru,namun perempuan mengalami risiko pemutusan hubungan kerja karena adanya kecerdasanbuatan atau kesenjangan dalam akses dan pemanfaatan teknologi. Pemimpin bangsaberkewajiban mengintegrasikan program penguatan literasidigital dan keamanan digital bagi perempuan dan memperkuat kapasitas berbagaipemangku kepentingan dalam pengembangan keamanan digital berperspektif keadilangender. Selain itu, perlu ada pengembangan mekanisme penghapusan kontendigital  dan n dukungan pemulihan kepadakorban.

 

PelaksanaanPemilu 2024

          Sebagaicatatan akhir, Komnas Perempuan mengingatkan bahwa afirmasi kepemimpinanperempuan dalam pelaksanaan Pemilu 2024 akan mempengaruhi daya para pemimpinterpilih dalam memastikan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan berbasisgender terhadap perempuan. Sementara tidak ada perempuan dalam lapis calonpresiden dan wakil presiden, kepemimpinan perempuan dalam parlemen perlumenjadi perhatian khusus. Hasil Pemilu anggota DPR RI sejak reformasimenunjukkan  bahwa jumlah anggotaperempuan parlemen belum pernah mencapai kuota 30%. Pada Pemilu 2004 jumlahperempuan yang berhasil duduk di DPR RI adalah 65 orang (11,82%), yang kemudianmeningkat 7% pada Pemilu 2009 (100 orang atau sekitar 17,86%). Jumlah ini menurunpada Pemilu 2014 menjadi 97 perempuan (17,32%) dan naik Kembali pada Pemilu2019 dengan 120 perempuan (20,87%).

          PadaPemilu 2024, keengganan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan PutusanMahkamah Agung (MA) dan Bawaslu tentang perhitungan ke atas bagi suara di bawah0,50 menunjukkan pengerdilan dan tidak dipahaminya dasar tindakan afirmasikhusus kepemimpinan perempuan. Apalagi KPU juga meloloskan DCT Parpol yangtidak memenuhi 30 % keterwakilan perempuan. Minimnya keterwakilan perempuan jugaterlihat pada pemilihan Penyelenggara Pemilu di pusat dan daerah juga padapemilihan lembaga negara lainnya.

          Berdasarkanhal tersebut, Komnas Perempuan berpandangan bahwa KPU penting memastikanterpenuhinya kuota 30 % perempuan sebagai calon terpilih sebagai anggota DPR,DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten / Kota. Juga kepada para pemimpin terpilihuntuk mendukung kepemimpinan perempuan di Kementerian dan Lembaga-LembagaNegara.

 

 

Narasumber:

1.     Alimatul Qibtiyah

2.     Siti Aminah Tardi

3.     Rainy M Hutabarat

4.     Olivia Chadidjah Salampessy

5.     Maria Ulfa Anshor

6.     VeryantoSitohang

 

Narahubung: Elsa (+62 813-8937-1400)

Pertanyaan/Komentar
clear
clear
location_on
Jl. Latuharhary No.4B 1, RT.1/RW.4, Menteng, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10310
call
Nomor Telpon/Fax
+62-21-3903963
+62-21-3903922 (Fax)
mail
Surat Elektronik
public
Ikuti Kami
privacy_tip
Disclaimer
Semua materi didalam website komnasperempuan.go.id diperuntukan bagi kepentingan HAM khususnya dalam Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia
Copyright © 2023. Komnas Perempuan