“RUU Penyiaran: Ancaman Kebebasan Pers, Berpendapat dan Berekspresi serta Berpotensi Menambah Kebijakan DiskriminatifBerbasis Gender, Disabilitas dan KelompokMinoritas “
Jakarta, 27 Mei 2024
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadapPerempuan (Komnas Perempuaan) menyikapi pembahasan Rancangan Undang-undang RUUPenyiaran yang sedang berlangsung di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI)mengungkapkan bahwa RUU Penyiaran berpotensi melanggengakan diskriminasiterhadap perempuan, kelompok minoritas lainnya dan masyarakat yang memilikikerentanan menjadi korban kekerasan berbasis gender. RUU Penyiaran juga menghalangikebebasan berekspresi dan mengandung makna yang ambigu serta rentanmengkriminalisasi pendapat dan ekspresi perempuan dan Perempuan Pembela HAM.
Komisioner Veryanto Sitohang mengatakanbahwa isi dan konten siaran yang mengandung kesopanan, kepantasan, dankesusilaan – sebagaimana tertara pada RUU Penyiaran – bisa memunculkan standarganda dan akan membatasi kebebasan berekspresi masyarakat terutama Perempuanyang dalam masyarakat patriarki dikonstruksikan sebagai “penjaga moral”.
“Ketentuan ini memperkecil ruangdemokrasi dan diskriminatif terhadap kelompok rentan yang kontradiktif dengansemangat untuk melindungi kelompok rentan. Soal sejauh mana aturan inimenjangkau platform digital ini juga bisa berpeluang mengkriminalisasi PerempuanPembela HAM atau akun-akun lembaga layanan/pendamping atau influencer kritisatau content creator yangmengekspresikan pendapatnya terkait isu HAM dan hak asasi perempuan di platformYoutube atau media sosial lainnya?,” terangnya.
Komnas Perempuan, mencatat kerap kalipengungkapan kasus kekerasan berbasis gender atau kekerasan menyasar kelompokrentan terbantu dengan adanya jurnalistik investigasi. Seperti The JakartaPost dan Tirto bekerja sama dengan media lokal dari Papua, Tabloid Jubi,melakukan investigasi kerusuhan di Wamena (2018). Selanjutnya ada Tirto, TheJakarta Post, Vice Indonesia, dan BBC Indonesia berkolaborasi dalammenginvestigasi kasus-kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi danmenyuarakan tagar 'namabaik kampus' yang ikut berkontribusi terhadap pengungkapan kasus kekerasanseksual di kampus dan kebijakan seperti Permendikbudikti 30/2021 dan UU No. 12Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Komnas Perempuan menyesalkan adanyapasal-pasal dalam RUU Penyiaran yang mengancam kebebasan pers, kebebasan berpendapat dan berekspresi yangmerupakan bagian dasar dari negara yang demokrasi. Komnas Perempuan merekomendasikanpenundaan pembahasan Revisi UU Penyiaran ini untuk memastikan tidak bersifatdiskriminatif dan membuka ruang partisipasi publik yang bermakna.
Menurut Komisioner Rainy M Hutabarat,ketentuan pasal 50 Ayat (2) yang mengatur pelarangan penayangan eksklusifjurnalistik investigasi juga bertentangan dengan prinsip jurnalistik universaldan berpotensi mengancam penegakan hukum.
“Jurnalistik investigasi penting dalamproses pengungkapan kasus-kasus yang merugikan negara dan penghapusan tindakkekerasan, penyiksaan berbasis gender maupun berbasis lainnya, serta mengkritik kebijakan negara. Rancangan aturanini dapat menghambat akses para korbanatas keadilan,” tegasnya
Sementara terkait dengan kelompokrentan, RUU Penyiaran juga mengabaikan asas inklusif baik berbasis gendermaupun kondisi disabilitas sebagaimana pasal-pasal terkait alih bahasa yangbelum mengatur bahasa isyarat dan Pasal 10 (d) menyangkut syarat kondisi “sehatjasmani dan rohani” yang berpotensi mendiskriminasikan penyandang disabilitasserta ketiadaan unsur penyandang disabilitas dalam susunan tim pendukung dalamPasal 11 (I) dan lainnya.
“Juga menyayangkan adanya pasal-pasalyang rentan terhadap tafsir berbasis nilai kesantunan, kepantasan, kesusilaanatau moralitas tertentu yang mengancam keberagaman berekspresi dan ragamkearifan lokal di Indonesia,” tambahRainy.
Sedangkan terkait informasi bahwaRevisi UU Penyiaran akan disahkan pada September 2024, Komisioner Siti AminahTardi mengingatkan proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang harusmelewati lima tahapan, yaitu perencanaan, penyusunan, pembahasan tingkat I,pembahasan tingkat II dan pengesahan serta pengundangannya.
“Dari pantauan legislasi di laman DPRRI, RUU ini sudah diusulkan dari tahun 2020 yang kemudian tidak adaperkembangannya. Baru muncul kembali pada 2024 ini. Saat ini prosesnya barupada tahap penyusunan di Baleg DPR RI belum menjadi usul inisiatif DPR RI,apalagi pembahasan tingkat I. Proses pembentukannya harus tetap sesuai tahapan,dan alasan mengejar tenggat waktu tidak boleh melanggar setiap tahapan denganmenjadikan prosesnya tertutup serta tidak membuka partisipasi publik, termasukmeminggirkan kepentingan perempuan,” ujar Siti, mengingatkan pentingnyapartisipasi perempuan.
Komnas Perempuan merekomendasikan agarDPR RI menunda pembahasan RUU Penyiaran dan memastikan RUU Penyiaran tidakmengandung muatan diskriminasi terhadap perempuan, disabilitas dan kelompokminoritas lainnya, termasuk menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresisebagaimana mandat Konstitusi RI. Juga membuka ruang partisipasi publik secarabermakna dan luas dengan membuka dialog, mempertimbangkan masukan-masukanKementerian/Lembaga negara termasuk lembaga negara hak asasi manusia, mediamassa dan masyarakat sipil lainnya.
Narahubung: Elsa Faturahmah(0813-8937-1400)