Siaran Pers KomisiNasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tentang
Hari InternasionalMemperingati Korban Kekerasan dan Diskriminasi Agama/Keyakinan, 2021
LibatkanPerempuan dalam Penyelesaian Konflik Intoleransi dan Penuhi Hak Korban atas Pemulihan
Jakarta, 22 Agustus2021
Sejak tahun 1981, PerserikatanBangsa–Bangsa (PBB) menetapkan Hari Internasional Memperingati KorbanKekerasan dan Diskriminasi Agama/Kepercayaan (International DayCommemorating the Victims of Acts of Violence Based on Religion or Belief)setiap tanggal 22 Agustus. Deklarasi tentangPenghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi BerdasarkanAgama/Kepercayaan PBB tahun 1981 Pasal 1 menyatakan, “Setiap orang bebas untukmemilih dan menganut agama/kepercayaan, dan memanifestasikannya secara pribadidan berkelompok, baik dalam beribadat, pengamalan, maupun pengajarannya”.Dokumen Durban Review Conference bulanApril 2009, paragraf 13, juga menyatakan bahwa negara-negara anggota PBBmemperteguh komitmen mereka bahwa semua pernyataan yang bersifat kebenciankeagamaan merupakan bentuk diskriminasiyang harus dilarang oleh hukum. Komitmen ini menunjukkankeprihatinan dunia terhadap maraknya peristiwa intoleransi yang berdampakmeningkatnya korban kekerasan berbasis agama dan kepercayaan. Peringatan HariInternasional bagi Korban Kekerasan dan Diskriminasi Agama dan keyakinanbertujuan agar dunia mengakui pentingnya memberikan dukungan dan bantuan kepadakorban kekerasan seturut dengan hukum yang berlaku di negara masing-masing.
Komnas Perempuan setiap tahun menerimapengaduan dari perempuan dan atau korban kekerasan dan diskriminasi agama dankepercayaan dari berbagai wilayah di Tanah Air. Catatan Tahunan (CATAHU) KomnasPerempuan 2021 mencatat kasus diskriminasi berbasiskan agama dan keyakinan padatahun 2020 dialami kelompok minoritas agama a.l. dalam kasus (1) diskriminasi pencatatan pernikahan Jemaat PerempuanAhmadiyah di Tasikmalaya; (2) penutupanmesjid Al Furqon Desa Parakansalak, Sukabumi; (3) penyegelanbakal makam Sunda Wiwitan di Kuningan. Pada tahun sebelumnya, KomnasPerempuan juga menerima pengaduan korban kekerasan dan diskriminasi berbasisagama dan keyakinan yakni a.l. (4) penyeranganberujung kematian terhadap jemaah Ahmadyah di Cikeusik, (5) pengungsian Jemaah Ahmadiyah diTransito, Nusa Tenggara Barat, (6) Pembongkaran Patung Budha Amithaba di ViharaTri Ratna Kota Tanjung Balai, (7) kriminalisasi terhadap Meliana PerempuanTionghoa yang dipidana penjara karena tuduhan penistaan agama; (8) penutupanGereja-Gereja di Aceh Singkil dan Banda Aceh dan (9) penolakan pemakamanpenghayat kepercayaan di Kab. Brebes. Sementara pada tahun 2021, sebagian besarkasus kasus lama terus berlanjut atau berulang seperti (9) penyegelan HKBP Filadelphia, dan (10)GKI Yasmin yang penyelesaiannya dirasakan tidak melibatkan komunitas terdampaklangsung, dan (11) penutupanpaksa dan penghentian aktivitas dan operasional bangunan Mesjid MiftahulHuda oleh Pemerintah Kabupaten Sintang pada 14 Agustus 2021. Komnas Perempuan juga mencatat adanya kasus-kasus lain yang tidak dilaporkan bahkandidiamkan akibat ketakutan korban untuk bersuara.
Dalam kasus-kasus intoleransi berbasis agama dankeyakinan, Komnas Perempuan menemukan bahwa perempuan merupakan kelompok rentanselain-lain anak-anak yang menyaksikan. Ancaman, teror, kekerasan fisik hingga kekerasan seksual dialamiperempuan yang mengalami langsung tindak intoleransi seperti pengusiran paksadengan kekerasan. Berbagai kekerasan tersebut tak hanya berdampak fisikterhadap perempuan melainkan juga sosial dan psikis berupa trauma, ketakutan, sulit tidur, stres, yang jugadirasakan berpengaruh pada kesehatan reproduksi, termasuk gangguan pada saatkehamilan. Perempuan dalam perannya sebagai ibu juga merasa terbebani karenakondisi intoleransi berbasis agama/keyakinan mengganggu pendidikan keagamaanbagi anaknya, termasuk untuk tidak menginternalisasi kebencian pada kelompokintoleran ataupun komunitas agama yang identik dengan kelompok intoleran itu,maupun kepada pemerintah yang dianggap tidak bersungguh-sungguh memberikanperlindungan bagi kelompok minoritas agama. Selain itu, Komnas Perempuan jugamencatat bahwa dalam penyelesaian konflik-konflik intoleransi berbasis agamadan keyakinan, pemerintah di tingkat nasional maupun daerah kurang melibatkanperempuan secara substantif. Akibatnya,solusi konflik tidak mengintegrasikan kebutuhan khusus pemulihan perempuankorban kekerasan agama dan keyakinan, juga kelompok rentan lainnya sepertianak-anak dan lansia.
Pemantauan Komnas Perempuan menyimpulkan bahwa kasuskekerasan dan diskriminasi berbasis agama dan keyakinan di Indonesia banyakyang belum terselesaikan. Persoalan serupa bahkan cenderung berulang dan memicuperistiwa yang sama di tempat lain serta minim penegakan hukum yang berpihakterhadap korban. Karenanya, KomnasPerempuan terus mendesak Negara (pemerintah, legislatif dan peradilan) agartaat pada Konstitusi RI yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia dansegera melakukan penanganan intoleransi berbasis agama dan keyakinan. Termasukdi antaranya adalah penanganan komprehensif terhadap warga Kabupaten Sampang yang terusir karenaperbedaan keyakinan, pengungsi kelompok Jemaat Ahmadiyah di Transito Mataram,NTB, Balai kerja Latihan di Lombok Timur, dan Praya Lombok Barat, sertapenyelesaian izin rumah-rumah ibadah(gereja, masjid, vihara, dan lainnya) yang terhambat karena penolakan berbasisintoleransi.
Komnas Perempuan berpandangan bahwa tindakan intoleransidan diskriminasi juga bersumber dari perundang-undangan yang mengandung unsur diskriminasi secara langsungdalam kebijakan maupun tidak langsung terkait dampak yang ditimbulkannya. Dari421 kebijakan diskriminatif terdapat dua kategori diskriminasi berdasarkanpengutamaan kelompok agama tertentu yang berakibat mengabaikan kelompok agamalainnya, serta diskriminasi karena pemberlakuan pembatasan dan pembedaanberbasiskan agama dan keyakinan (Komnas Perempuan,2016). Termasuk di dalamnyaadalah aturan mengenai kebijakan busana berdasarkan interpretasi tunggal atasagama yang mayoritas dipeluk oleh penduduk di suatu daerah tertentu. Sementaraitu juga ada sejumlah Undang-Undang yang turut melembagakan diskriminasiberbasiskan agama dan keyakinan, yakni UU No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama, UU No. 1 tentangPerkawinan, UU No. 24 tahun 2013 tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2006 tentangAdministrasi Kependudukan, SKB 3 Menteri Tahun 2008 mengenai JAI, PeraturanBersama Menteri Agama dan Menteri DalamNegeri Tahun 2006 tentang Rumah Ibadat; SKB Dua Menteri atau disebut denganPeraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang PedomanPelaksanaan Tugas Kepala/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan UmatBeragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Bergama, dan Pendirian RumahIbadah.
Mengingat persoalan ini telah berlarut-larut, KomnasPerempuan menyambut baik upaya percepatan dalam mengatasi kondisi kebijakandiskriminatif dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM)sebagaimana termaktub dalam Peraturan Presiden No. 53 Tahun 2021. Upaya ini sejalan dengan amanat Konstitusiyang secara tegas dalam Pasal 28E ayat 1 dan 2, Pasal 29 UUD RI 1945 telahmenyatakan komitmen negara dalam menjamin hak kebebasan beragama danberkeyakinan. Komitmen ini juga telah oleh PutusanMahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 mengenaitafsir Mahkamah Konstitusi pada Pasal-pasal UUD NRI 1945 sebagaimana disebutkandi atas.
Untuk itu, dalam rangka memperingati Hari Korban Kekerasan dan Diskriminasi Agama dan Keyakinan Seduniatahun 2021, Komnas Perempuan merekomendasikan:
Narasumber
Veryanto Sithong
Rainy Hutabarat
Imam Nahei
Andy Yentriyani
Narahubung
ChrismantoPurba (chris@komnasperempuan.go.id)