Siaran Pers Komnas Perempuan Tanggapan Atas
PenggunaanIstilah “Turun Mesin” oleh AG Terhadap Istrinya
Jakarta, 10 Juni 2021
Terkait polemik pernyataan AG, seorang pemuka agama sekaligus tokohpublik yang menggunakan istilah “turun mesin” kepada istrinya, Komisi NasionalAnti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengimbau semua pihak,khususnya pejabat publik, pesohor dan pemuka/tokoh masyarakat, untuk menghindarikekerasan psikis atau kekerasan verbal/simbolik dan pelecehan seksual kepadaperempuan, serta turut mendukung pemulihan korban.
Sebagai ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan kondisi tubuhperempuan, “turun mesin” merupakan istilah peyoratif, yaitu sikap yangmerendahkan, menghina atau mencemooh. Istilah ini rekat dengan cara pandangyang seksis, yaitu merendahkan harkat kemanusiaan berdasar jenis kelamin. Juga,cara pandang yang menempatkan perempuan sebagai obyek seks, Dalam hal ini imajitentang keperawanan dan elastisitas kelamin perempuan yang dikaitkan dengankepuasan atau kenikmatan laki-laki dalam berhubungan seksual. Dengan demikian, “turun mesin” merupakan bentukkekerasan verbal/simbolik terhadap perempuan yang berdampak psikologis yangnegatif terhadap perempuan. Oleh karena itu, sungguh sangat tidak bermartabatmenggunakan istilah “turun mesin” untuk menggambarkan cinta-kasih kepadaistri/pasangan atau memuliakan peran reproduksi perempuan karena perempuantelah melahirkan.
Penggunaan ejekan dan atau makian yang seksis adalah bagian darikekerasan psikis atau kekerasan verbal dan merupakan salah satu bentukkekerasan terhadap perempuan berbasis gender. Kekerasan verbal termasukungkapan “turun mesin” berakar dari nilai-nilai patriarkis yang melanggengkandan meneguhkan diskriminasi terhadap perempuan. Karenanya, penanganan yangkomprehensif merupakan langkah penting dalam memastikan pemenuhan hakkonstitusional, khususnya perlindungan diri, kehormatan dan martabat (Pasal 28G Ayat 1) dan bebas dari diskriminasi (Pasal 28 I Ayat 2). Upaya mengubah carapandang atau pola pikir dan kebiasaan merendahkan perempuan, termasuk melaluibahasa, juga sangat penting dalam mewujudkan komitmen negara dalam KonvensiPenghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yang telahdiratifikasi hampir empat dekade lalu melalui UU No. 7 Tahun 1984.
Penting untuk mengingat bahwa dalam UU Penghapusan Kekerasan dalam RumahTangga (UU PKDRT, No. 23 Tahun 2004) kekerasan psikis dimaknai perbuatan yangmengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untukbertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat padaseseorang. Kekerasan psikis merupakan tindak pidana, dengan ancaman paling lama3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
Sayangnya, ketika kekerasan psikis berupa kekerasan verbal dilakukanbukan oleh suami, orang yang berhubungan keluarga ataupun tinggal serumah- yangartinya tidak menjadi ruang lingkup UU PKDRT- sulit untuk diproses secarahukum. Untuk itulah Komnas Perempuan mendorong pengesahan segera RUU Penghapusan Kekerasan Seksual agar pelecehanseksual dapat ditangani secara komprehensif dengan memperhatikan hak korban untuk pemulihan.
Mengingat dampak dari kekerasan psikis terhadap perempuan korban sangatmendalam dan menimbulkan trauma psikis terhadap korban yang berkepanjangan,maka Komnas Perempuan mengajak semua pihak untuk memberikan perhatian, penguatandan dukungan bagi pemulihan korban. Secara khusus, Komnas Perempuan mendorongmedia massa melakukan pemberitaan yang berperspektif korban, termasuk denganmenjelaskan dampak yang ditanggung korban akibat kekerasan psikis dan pelecehanseksual yang dialaminya, serta turutserta dalam meningkatkan pemahaman masyarakat luas terkait kekerasan terhadapperempuan.
Narasumber
Bahrul Fuad
Rainy Hutabarat
Andy Yentriyani
Narahubung
Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)