SiaranPers Komisi Nasional Anti Kekerasan TerhadapPerempuan
TentangHari Aksara Internasional, 8 September
MeningkatkanLiterasi, Menghapuskan Kekerasan terhadap Perempuan
Jakarta, 8 September 2021
Literasi merupakan masalah hak asasi manusia dan martabat manusia, sertamemiliki pengaruh signinfikan pada upaya penghapusan kekerasan berbasis genderterhadap perempuan. Semakin rendah kemampuan literasi seseorang, semakin kecilpeluang mengakses pengetahuan dan informasi yang dibutuhkan dalam kehidupannya.Juga, meningkatkan kerentanan pada kekerasan dan diskriminasi. Apalagi bagiperempuan yang juga harus berhadapan dengan sistem masyarakat yang cenderungmenempatkannya dalam posisi subordinat.
Literasi perlu dimaknai dalam skala luas, yakni: (a) keberaksaraan (melek huruf) termasuk keberaksaraan bagipenyandang disabilitas dan (b) literasiteknologi digital untuk komunikasi dan mengakses informasi. Dalam UUD NRI 1945,literasi merupakan bagian dari (1) hak atas pendidikan (Pasal 31) dan (2) hakuntuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi danlingkungan sosialnya (Pasal 28F). Kesetaraan di dalam literasi ini bagiperempuan (dibandingkan laki-laki) juga merupakan salah satu isu penting didalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yangtelah diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1984. Di era digital denganpembatasan sosial berkala masif dan luas pada masa pandemi Covid-19, akses padainternet menjadi semakin penting dalam pemajuan dan penikmatan literasi.
Kesenjangan angka melek huruf antara perempuan dan laki-laki masihmembutuhkan perhatian serius. Angka melek huruf perempuan di Indonesia sudahtinggi, namun masih lebih rendah jika dibandingkan dengan angka melek huruflaki-laki. Berdasarkan data SUSENAS BPS 2019 angka melek huruf perempuan usia15 tahun ke atas 97,64% lebih rendah dibandingkan angka melek huruf laki-lakisebesar 98,79%. Kondisi perempuan semakin parah jika dilihat dari wilayahtinggal. Angka melek huruf perempuan yang tinggal di wilayah perdesaan 91,34%jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan angka melek huruf laki-laki diperdesaan sebesar 95,86%.
Disparitas kemampuan membaca dan menulis berdasarkan jenis kelamin ini menunjukkanmasih adanya persoalan akses perempuan dalam memperoleh pendidikan. BerdasarkanSUSENAS 2019, persentase perempuan usia 15 tahun ke atas yang menamatkanpendidikan SMA/sederajat lebih rendah dibandingkan laki-laki yang telahmenamatkan pendidikan SMA/sederajat dimana perempuan sebesar 24,98 % dan laki – laki sebesar 30,53%. Kondisi tingkatmelek huruf semakin buruk terjadi pada kelompok perempuan rentan sepertiperempuan adat, perempuan yang tinggal di wilayah kepulauan, dan perempuandengan disabilitas. Terlebih perempuan dengan disabilitas sensorik danperempuan dengan disabilitas intelektual yang memiliki hambatan khas padaliterasi. Sebagai akibatnya, mereka terhalangi untuk mengakses informasikhususnya terkait kesehatan reproduksi, pendidikan seksualitas, informasilayanan kesehatan, dan layanan hukum maupun pekerjaan dengan penghasilan yanglayak. Kondisi ini menyebabkan mereka lebih rentan mengalami berbagai tindakkekerasan.
Dalam konteks upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, literasimenjadi mendesak. Beberapa studi (Sen &Bolsoy,(2017), WHO (2014), Anderson, Arndt, & Yarrow (2013) menunjukkanbahwa pendidikan berkait-paut dengan faktor risiko yang menyebabkan terjadinyaresiko kekerasan terhadap perempuan. Tingkat pendidikan rendah merupakanpenyebab dan sekaligus akibat terjadinya pernikahan anak. Selain meningkatkanangka putus sekolah, pernikahan anak juga berdampak pada kesehatan,seperti kematian ibu dan kurang gizi, dan meningkatnya risiko perempuanmengalami kekerasan dalam rumah tangga. Sementara itu, berdasarkan Catatan Tahunan(CATAHU) 2021 Komnas Perempuan, angka kekerasan terhadap perempuan relatifcukup tinggi mencapai 8.234 kasus sepanjang tahun 2020. Dari jumlah tersebut79% kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di ranah privat atau ranahdomestik. Dari keseluruhan kasus kekerasan terhadap perempuan di ranahdomestik, hanya 31% kasus yang diselesaikan secara hukum.
Oleh karena itu,di dalam konteks penghapusan kekerasan terhadap perempuan, peningkatan literasimenjadi mendesak. Meningkatkan kemampuan literasi perempuan dapatmengurangi kerentanan perempuan pada pemiskinan, kekerasan, dan dimarginalkanatau tidak diperhitungkan dalam proses-proses pengambilan keputusan. Memilikikemampuan literasi juga mengurangi kerentanan dari ekslusi sosial karenamemungkinkan perempuan untuk bisa lebih maju, mampu mengakses, memahami, danmenggunakan informasinya melalui berbagai aktivitas, termasuk dalammemperjuangkan hak-haknya sebagai korban.
Berkaitan dengan itu, sosialisasi tentang kekerasan berbasis gender diruang riil dan virtual mensyaratkan aksesibilitas publik pada informasi yangdisediakan. Dalam hal ini, pelaksana sosialisasi perlu memastikan keberaksaraanyang inklusif dan menggunakan ruang-ruang komunikasi yang ada, termasuk denganmenggunakan teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang. Aksesibilitasserupa ini juga perlu ada dalam hal bagi perempuan korban kekerasan, termasukdalam layanan pengaduan, konseling, konsultasi dan dukungan pemulihannya.
Menyikapi kondisi di atas, dan dalam memperingati Hari Aksara Internasional2021, Komnas Perempuan merekomendasikan:
Narasumber
Bahrul Fuad
Rainy M. Hutabarat
Andy Yentriyani
Narahubung
ChrismantoPurba (chris@komnasperempuan.go.id)