Siaran Pers Komnas Perempuan
Kasus Pemaksaan Busana dengan Identitas Agama
PercepatanPenanganan Kebijakan Diskriminatif Demi Pelaksanaan Mandat Konstitusional
Jakarta, 27 Januari 2021
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)mengapresiasi dan mendukung langkah sistemik untuk mengatasi persoalandiskriminasi berbasis gender dan agama/keyakinan yang ditempuh oleh berbagaipihak di tingkat daerah dan nasional, terutama di lingkungan KementerianPendidikan dan Kebudayaan, dalam menyikapi kasus pemaksaan jilbab pada siswiSMK 2 Padang. Komnas Perempuan mengapresiasi secara khusus keberanian darisiswi pelapor, Sdr. Jeni C.H. dan keluarganya untuk mengangkat persoalan inisehingga menjadi perhatian publik. Langkah-langkah ini akan menguatkan upayapelaksanaan tanggung jawab negara dalam memajukan dan menegakkan hak-hak dasaryang dijamin di Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hakuntuk bebas dari perlakuan diskriminatif (Pasal 28I Ayat (2)), hak untukmeyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya(Pasal 28E ayat (2)), memeluk agama dan beribadat menurut agama dankeyakinannya itu (Pasal 28 E Ayat (1) dan Pasal 29), serta untuk bebas darirasa takut untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang merupakan hakasasi (Pasal 28 G Ayat (1)). Dalam kasus di lingkungan pendidikan, pemaksaanbusana terkait identitas agama juga menghalangi penikmatan hak konstitusionalanak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28B Ayat (2)).
Perihal aturan busana terkait identitas agama di lingkungan pendidikantelah beberapa kali mencuat di masyarakat, seperti peristiwa di Bali (2014),Jawa Barat (2016), Banyuwangi (2017), Jakarta (2017), Riau (2018), Manokwari(2019) dan Jogjakarta (2017, 2018, 2019). Kondisi itu rekat dengan berlarutnya persoalankebijakan diskriminatif atas nama agama, moralitas dan otonomi daerah. Padatahun 2009, Komnas Perempuan pertama kali melansir laporan mengenai keberadaankebijakan diskriminatif ini. Hingga kini terdapat 62 kebijakan daerah yangmemuat aturan busana yang mengadopsi interpretasi tunggal dari simbol agamamayoritas. Ke-62 kebijakan daerah ini terbit antara tahun 2000 hingga 2015 dan tersebardi 15 provinsi, yang terdiri dari 19 peraturan daerah dan 43 peraturan dankebijakan kepala daerah di tingkat provinsi juga kota/kabupaten. Sekurangnyaada 15 kebijakan serupa yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat. Sebagianbesar aturan ini diterapkan kepada Aparatur Sipil Negara dan lembaga-lembagapublik di daerah; beberapa di antaranya secara spesifik memerintahkanpelaksanaannya juga mencakup lembaga pendidikan.
Pemantauan dan kajian Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kelahirankebijakan daerah yang diskriminatif berkait dengan penguatan politik identitasprimordial, terutama agama dan etnis, sejak reformasi bergulir di tahun 1998.Juga, bertaut dengan percepatan otonomi daerah tanpa mekanisme pengawasan yangmumpuni, serta demokratisasi yang lebih bersifat prosedural daripadasubstantif. Dalam kebijakan yang lahir di situasi ini, kelompok minoritasdiperintahkan untuk “menyesuaikan diri” yang berarti tunduk pada pengaturanyang mengunggulkan identitas tunggal kelompok “mayoritas”. Dalam hal ini,minoritas mencakup mereka yang berbeda agama/keyakinan ataupun seagama tetapiberbeda pandang dengan kelompok pengusung kebijakan itu. Komnas Perempuan sepanjang2009-2020 mencatat bahwa pihak yang berbeda pandang mengenai aturan tersebutdapat merisikokan diri untuk mengalami diskriminasi dan pengabaian dalam layananpublik, memperoleh sanksi sosial berupa ejekan dan pengucilan, atau sanksiadministratif jika bekerja sebagai pegawai, juga kemungkinan kekerasan danpersekusi. Akibatnya, banyak pihak yang berbeda pendapat memilih berdiam diri,tunduk pada aturan tersebut meski tidak sesuai dengan hati nurani. Kondisi inikemudian dimanfaatkan sebagai tanda “tidak ada yang berkeberatan” untukmenjustifikasi keberadaan kebijakan diskriminatif itu.
Pemantauan Komnas Perempuan juga menunjukkan bahwa selain berdampak padapemenuhan tanggung jawab negara akan hak konstitusional warga, khususnyaperempuan, keberadaan kebijakan diskriminatif ini juga menggerogoti integritashukum nasional dan mengeroposi pondasiketahanan nasional Indonesia, serta merapuhkan tata kelola negara. Jaminankonstitusional atas hak bebas dari diskriminasi telah ditegaskan dalam berbagaiUndang-Undang. Dalam UU tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 76 dan 250UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, melarang pembentukan kebijakandaerah dan kebijakan kepala daerah bersifat diskriminatif karena selainbertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya juga bertentangandengan kepentingan umum. UU No. 12 Tahun2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga memerintahkan agarmateri muatan harus mencerminkan asas pengayoman, kemanusiaan dan keadilan,dimana prinsip non diskriminasi merupakan bagian integral dari asas-asas itu.Lebih lanjut, materi muatan peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan dankebijakan di daerah, harus memuat asas kebangsaan, kenusantaraan dan BhinnekaTunggal Ika. Ketiga asas ini dilanggar di dalam kebijakan diskriminatif yangmengarahkan penguatan identitas tunggal atas nama agama dan keinginan kelompokmayoritas di daerah. Akibat konstruksi sosial yang menempatkan perempuansebagai target kontrol moralitas dan simbol komunitas, maka kebijakan yangdiskriminatif ini memiliki dampak kerugian yang tidak proporsional bagiperempuan, sebagaimana jelas tampak dalam pelaksanaan kebijakan yang mengaturtentang busana dengan identitas agama.
Selain terkait dengan tren politisasi agama dan identitas, KomnasPerempuan mengamati bahwa kelahiran kebijakan diskriminatif juga dipengaruhioleh kapasitas sumber daya manusia perumus kebijakan. Pemahaman mengenaiprinsip non diskriminasi dan langkah afirmasi, kapasitas mengurai persoalansosial yang kompleks dan memfasilitasi proses partisipasi publik yangsubstantif masih menjadi kendala dalam mencegah kebijakan diskriminatif. Karenanya,upaya mengatasi kebijakan diskriminatif perlu mencakup langkah penanganan danpencegahan, dan telah menjadi Program Prioritas Nasional sejak tahun 2018melalui kelompok kerja (POKJA) lintas Kementerian dan Lembaga untuk HarmonisasiPeraturan Perundang-Undangan. Dalam kerja bersama ini, hasil pemantauan KomnasPerempuan pada tahun 2018 tentang keberadaan 421 kebijakan diskriminatif,termasuk 62 kebijakan tentang aturan busana di atas, menjadi data awal. Sampai hari ini, telah ada 32 kebijakandaerah yang diklarifikasi oleh Kemendagri dan 421 kebijakan oleh KementerianHukum dan HAM. Sejumlahnya telah ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah denganrevisi ataupun pencabutan. Upaya penanganan melalui jalur legislatif maupunyudikatif juga diajukan, termasuk untuk mendorong Mahkamah Agung mengembangkansistem judicial review yang lebihpartisipatif dan akuntabel.
Kasus pemaksaan jilbab terhadap siswa di Padang perlu menjadi momentumuntuk melakukan langkah-langkah percepatan penanganan secara sistemik danberkelanjutan. Terlebih karena di dalam kasus ini sikap konstruktif untukmeneguhkan jaminan hak konstitusional telah ditunjukkan oleh pihak sekolah,Dinas Pendidikan dan Pemda Sumatera Barat dan juga oleh berbagai Kementeriandan Lembaga, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Memperhatikaninformasi yang telah diperoleh pada rentang 22-27 Januari 2021 mengenaipenyikapan pada peristiwa pemaksaan jilbab ini, baik melalui komunikasi dengankuasa hukum, Ombudsman Perwakilan Sumatera Barat, dan dialog POKJA K/L untukHarmonisasi Peraturan Perundang-undangan, serta amatan pada media massa dan media sosial, Komnas Perempuanmerekomendasikan dan mendukung, a.l. :
Narasumber
Narahubung
Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)