Siaran Pers Komnas Perempuan
Penyikapan atas Praktik Kawin Tangkap di Sumba
Hentikan Praktik Kekerasan terhadap Perempuan yang Mengatasnamakan Tradisi
Jakarta , 24 Juni 2020
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyerukan adanya langkah komprehensif untuk menghapus praktik-praktik kekerasan terhadap perempuan yang mengatasnamakan tradisi atau kebiasaan di dalam masyarakat. Langkah pendidikan publik dan penegakan hukum perlu dilakukan bersamaan oleh negara dan masyarakat agar mampu memberikan rasa aman yang hakiki bagi perempuan.
Salah satu praktik yang kini mendapatkan perhatian publik adalah praktik “kawin tangkap” yang terjadi di daerah Sumba, Nusa Tenggara Timur, setelah dua rekaman video, yaitu pada tanggal 6 Desember 2019 dan 16 Juni 2020, viral dan menjadi polemik di masyarakat. Berdasarkan pengaduan yang diterima Komnas Perempuan, praktik ini dimaksudkan untuk memastikan perkawinan dapat berlangsung. Keinginan perkawinan ini biasanya hanya sepihak, yaitu dari pihak laki-laki ataupun kesepakatan dari keluarga baik pihak laki-laki maupun perempuan. Untuk maksud tersebut, pihak perempuan akan “diambil” secara paksa ke lokasi yang telah disiapkan oleh pihak laki-laki. Proses penangkapan itu biasanya dilakukan oleh beberapa orang laki-laki di tempat umum, seperti di pasar, jalan, lokasi pesta atau bahkan di rumah atau tempat tinggal korban, dan menjadi tontonan masyarakat sekitar. Meski perempuan memberontak, berupaya untuk mempertahankan diri maupun berteriak minta tolong, jarang ada yang membantu kecuali dari kalangan keluarganya sendiri. Setelah berhasil “menculik”, pihak laki-laki akan memberitahukan keluarga pihak perempuan tentang penangkapan ini, sekaligus menyerahkan pinangan. Jika tidak berhasil “menyelamatkan”, pihak keluarga perempuan kerap terpaksa menerima. Perempuan yang menjadi korban berasal dari beragam latar belakang pendidikan, berusia remaja hingga dewasa.
Berkenaan dengan kasus “kawin tangkap,” Komnas Perempuan berpendapat bahwa praktik tersebut merupakan tindak kekerasan seksual, yaitu pemaksaan perkawinan. Pada tindakan pemaksaan perkawinan, Komnas Perempuan mengenali bahwa perempuan korban mengalami kerugian hak konstitusionalnya, terutama hak atas rasa aman dan untuk tidak takut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya (Pasal 28G Ayat 1), yaitu hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (Pasal 28B Ayat 1). Pada pasal 10 Ayat 2 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa “perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Syarat mengenai kehendak bebas dari calon suami dan calon istri ditegaskan di dalam pasal 6 Ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Komitmen Negara untuk memastikan perempuan dapat memasuki perkawinan dengan persetujuan/kehendak bebas juga menjadi bagian dari Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang telah diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1984. Sebagai tindakan melawan hukum, sesuai Pasal 332 Ayat 2 KUHP, pelaku kawin tangkap ini dapat dipidana hingga sembilan tahun penjara. Sementara untuk perampasan kemerdekaan, sesuai pasal 333, pelaku diancam dengan pidana hingga 12 tahun penjara.
Komnas Perempuan mengenali bahwa praktik pemaksaan perkawinan berakar pada diskriminasi berbasis gender terhadap perempuan. Dalam masyarakat patriarkis yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat, persetujuan dari perempuan pada perkawinan kerap diabaikan. Perempuan diperlakukan seperti benda yang diperebutkan, dimana proses “penangkapan” dan “menyelamatkan” merupakan pertarungan simbol kejantanan dari kedua belah pihak. Perempuan yang tidak berhasil dibebaskan dari penangkapan seolah tidak memiliki hak tawar, melainkan terpaksa masuk ke perkawinan yang awalnya tidak ia inginkan. Kondisi ini dapat menyebabkan perempuan korban terperangkap di lingkar kekerasan di dalam rumah tangga, baik dalam bentuk fisik, psikis, juga seksual.
Komitmen Negara Indonesia untuk menghapuskan pemaksaan perkawinan adalah jelas, sebagaimana tertuang dalam berbagai produk hukum dan perundang-undangan yang telah dijelaskan di atas. Lebih lanjut, dalam Pasal 5 Ayat 1 dari CEDAW Negara berkomitmen untuk “mengambil tindakan-tindakan yang tepat untuk mengubah pola-pola tingkah laku sosial dan budaya para laki-laki dan perempuan dengan maksud untuk mencapai penghapusan prasangka-prasangka dan kebiasaan-kebiasaan serta semua praktik lain yang didasarkan atas pemikiran adanya inferioritas atau superioritas salah satu gender...”
Dalam menyikapi situasi ini, Komnas Perempuan perlu menegaskan bahwa Konstitusi menjamin hak atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional. Namun, dari kajian mengenai praktik-praktik budaya Komnas Perempuan mengenali bahwa seringkali adat atau tradisi dijadikan alasan pembenar atas tindakan kekerasan terhadap perempuan. Upaya pembenaran tersebut menyembunyikan kontradiksi, penyelewengan ataupun pergeseran nilai-nilai luhur adat dan tradisi yang sejatinya memuliakan perempuan. Upaya untuk memperbaiki penyimpangan ini kerap dibenturkan sebagai tindakan melawan adat dan tradisi sehingga menghalangi langkah bersama untuk mengembalikan kearifan lokal yang menghadirkan perlindungan sejati bagi tiap-tiap anggota komunitas, termasuk perempuan, yang rentan diskriminasi dan kekerasan.
Di sisi lain, tindakan para pelaku kekerasan terhadap perempuan yang mengatasnamakan tradisi dapat dengan mudah digunakan oleh pihak lain untuk menstigma masyarakat adat atau suku tertentu. Hal ini berakibat pada semakin panjang deret diskriminasi dan kekerasan yang dihadapi oleh mereka. Padahal, penggerusan nilai-nilai luhur tidak terlepas dari sejarah diskriminasi struktural yang mereka hadapi berabad lamanya, sementara proses koreksi hingga kini masih berjalan parsial dan pelan. Sebagai kelompok, masyarakat adat telah termarginalisasi dan sebagai individu, mereka bahkan menghadapi kriminalisasi dalam mempertahankan hak-haknya atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional.
Mencermati seluruh persoalan di atas, Komnas Perempuan merekomendasikan:
Narasumber Komisioner:
Dewi Kanti
Theresia Iswarini
Rainy Hutabarat
Siti Aminah Tardi
Narahubung
Chrismanto Purba, (chris@komnasperempuan.go.id)
Link unduh
Siaran Pers Komnas Perempuan atas Praktik Kawin Tangkap di Sumba (24 Juni 2020)
*Catatan:
Ilustrasi gambar diambil dari http://bullyingstopkekerasan.blogspot.com/