Siaran Pers Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP): Peluncuran Laporan Temuan Awal 25 Tahun Implementasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Penghukuman atau Perlakuan lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia

todayRabu, 16 Oktober 2024
16
Okt-2024
130
0


MEMBONGKAR STAGNASI

16 Oktober 2024

 

Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP)yang terdiri dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), KomisiPerlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman Indonesia (ORI), LembagaPerlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Nasional Disabilitas (KND), danKomisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)berpandangan bahwa dalam 25 tahun implementasi Konvensi Menentang Penyiksaan danPerlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan MerendahkanMartabat Manusia (CAT), masih terjadi penyiksaan dan penghukuman dan tindakankejam, tidak manusiawi dan merendahkan lainnya, dalam berbagai konteks danberdampak fatal bagi korban dan kehidupan bersama sebagaibangsa. Beberapa kasus juga menunjukkan fakta penting mengenai praktikpenyiksaan dan tindakan tidak manusiawi yang didasarkan kekerasan berbasisgender terhadap perempuan, anak, disabilitas, dan identitas lainnya yangberkaitan dengan kerentanan, serta dalam konteks pelayanan publik di Indonesia.

 

Pandangan ini berbasis pada hasil laporan temuanawal  25 Tahun Implementasi KonvensiMenentang Penyiksaan dan Penghukuman atau Perlakuan lain yang Kejam, TidakManusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia yang disusun bersama mitra jaringanmasyarakat sipil sejak  2023.  Secara umum, laporan ini memperlihatkanberagam dugaan penyiksaan dalam penahanan dan kondisi serupa tahanan,penyiksaan dan pemenuhan hak korban dalam konteks pelanggaran berat HAM di masalalu, penyiksaan dan penundaan keadilan dalam konteks kekerasan dalam rumahtangga, kekerasan seksual, dan perdagangan orang, penyiksaan dan perlakuansemena-mena dalam praktik tradisi dan kebiasaan masyarakat yang berbahaya bagiperempuan, dan isu-isu eksploratif seperti kondisi ketidakpastian dalampengungsian internal maupun luar negeri (refugee),konflik sumber daya alam, femisida, pengucilan penderita kusta dan jeratanpinjaman online, pemasungan,perempuan dengan HIV/ODHA, perkawinan anak. Rentang pelaku mencakup aktornegara dan aktor non negara.

 

Beberapa pola penyiksaan olehaktor negara muncul dalam hal berikut ini, yaitu (a)penggunaan kekuatanyang berlebihan dalam proses penangkapan, (b)ketergantungan padapengakuan sebagai bukti utama tindak kriminalitas dan kesulitan dalammembatasi otoritas militer; (c) pengawasan yangterbatas dan belum sistematik  diruang-ruang serupa tahanan, seperti di panti kesehatan jiwa, panti asuhan danpanti rehabilitasi narkotika; (d)pendekatanmiliteristik, dengan kekerasan dan keinginan balas dendam masih menjadi normayang hidup di dalam masyarakat; (e) persoalan perspektifaparat penegak hukum dan indikasi penyalahgunaan kewenangan yang menjadi latarpraktik penundaan keadilan berkelanjutan yang berdampak penyiksaan danperlakuan semena-mena dalam berbagai kasus kekerasan berbasis gender,sebagaimana terlihat dalam kasus KDRT, kekerasan seksual dan TindakPidanaPerdaganganOrang(TPPO).  Kondisi yang turut memperburuk penyiksaanjuga menjadi temuan “pola” yakni pada tempat-tempat tahanan CCTV umumnya rusak,jumlah tidak memadai atau tidak berfungsi dan overcrowding.

 

Laporan awal ini mengupayakan identifikasiaktor-aktor non negara di antaranya dukun, tokoh masyarakat, kelompokintoleran, suami, pemuka agama, masyarakat dan kelompok masyarakat lainnya. Mengidentifikasikanaktor non negara memiliki tantangan khusus. Pada dasarnya, aktor non negaradapat ditemukan pada ragam konteks penyiksaan dan ill treatment. KuPP mengganggap penting menyoroti para aktor nonnegara dalam kerangka CAT mengingat kewajiban uji cermat tuntas (due dilligence)  negara-pihak meliputi pencegahan,memproses hukum, menjatuhkan sanksi untuk memutus impunitas dan menghadirkanpemulihan bagi korban.

 

Meski pasca ratifikasikonvensi CAT, Indonesia telah membuat kemajuan dalam kerangka hukum danregulasi untuk pencegahan. Namun, jika dibandingkan dengan catatan Komite CATpada 2011 sebagai pedoman pelaporan Indonesia siklus ketiga, tampaknya masihberjalan di tempat (stagnasi) dengan persoalan yang sama. Hal ini diindikasikandari keberulangan yang terus terjadi, impunitas para pelaku bahkan di lapanganbergulir intimidasi dan reviktimisasi terhadap para pencari keadilan termasukpembela HAM. Pada upaya pemenuhan hak atas keadilan dan pemulihan korban,komitmen untuk  memenuhi hak-hak korbanmasih dirasakan lemah.  Penyiksaan dan illtreatment juga bergeser pada ruang privat dialami oleh perempuan, anak dandisabilitas yang kerap berinteksi dengan kondisi kerentanan lainnya. 

 

Penting dicatat bahwahingga saat ini Pemerintah Indonesia belum menyampaikan laporan periodik keduayang seharusnya dilakukan pada 2012. Akibatnya hingga saat ini belum tersediainformasi komprehensif tentang perkembangan upaya-upaya memutus penyiksaan termasukpenghukuman atau perbuatan kejam tidak manusiawi lain termasuk berbasis gender,anak dan disabilitas. Pada saat bersamaan agenda ratifikasi Protokol OpsionalCAT terus tertunda dari sejak direncanakan dalam Rencana Aksi Nasional HakAsasi Manusia (RANHAM) tahun 2004-2009.

 

KuPP berharap laporanawal ini dapat menjadi pendorong perbaikan dan penguatan komitmen Pemerintah RIdalam implementasi Konvensi CAT ke depan, termasuk terusmengupayakan pembaruan dan atau pemajuan hukum, seperti meratifikasi ProtokolOpsional CAT, merevisi KUHAP agar mengatur pencegahan hingga pemulihan praktikpenyiksaan. Aparat penegak hukum dan penyedia layanan publik melakukanpenyelenggaraan pelayanan sesuai dengan standar, prosedur dan aturan berlakuberbasis kepatuhan atas norma HAM dan standar pelayanan minimal. Memastikanpenyelenggaraan uji cermat tuntas (duediligence) pada segala langkah koreksi yang dilakukan, termasuk atassubstansi kebijakan, struktur dan mekanisme pelaksana, serta budaya hukum gunamemastikan efektivitas pencegahan dan penanganan penyiksaan.

 

Bagimasyarakat sipil termasuk media massa, KuPP berharap laporan awal ini dapatmemberikan informasi dan pengetahuan terkait sejauh mana negara telahmenjalankan kewajibannya sebagai negara-pihak Konvensi Menentang Penyiksaan.Selanjutnya,  turut mengawal pencegahantindak penyiksaan dan perlakuan tak manusiawi di semua ruang kehidupan warganegara maupun kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

 

KomisionerKuPP:

 

RainyHutabarat (Komnas Perempuan)

TheresiaIswarini (Komnas Perempuan)

FatimahAsri (Komisi Nasional Disabilitas)

DianSasmita (KPAI)

AnisHidayah (Komnas HAM)

LembagaPerlindungan Korban dan Saksi

OmbudsmanRI


 

Narahubung:0813-8937-1400

 

 

 

 

Pertanyaan/Komentar
clear
clear
location_on
Jl. Latuharhary No.4B 1, RT.1/RW.4, Menteng, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10310
call
Nomor Telpon/Fax
+62-21-12345
+62-21-3903922 (Fax)
mail
Surat Elektronik
public
Ikuti Kami
privacy_tip
Disclaimer
Semua materi didalam website komnasperempuan.go.id diperuntukan bagi kepentingan HAM khususnya dalam Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia
Copyright © 2023. Komnas Perempuan (Build 25.05.2025)