Jakarta, 2 Juni 2017
Catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan, dalam 5 tahun terakhir kekerasan seksual merupakan bentuk kekerasan tertinggi yang terjadi di ranah publik/komunitas, dan dalam 3 tahun terakhir menempati urutan kedua tertinggi dari kekerasan yang terjadi di ranah privat/domestik. Kekerasan seksual yang dilaporkan juga meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2016 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan berjumlah 5765 kasus atau yang terjadi di ranah privat maupun publik, dimana pelaku merupakan orang-orang terdekat dengan korban, baik keluarga maupun orang-orang di sekitar lingkungan korban. Hingga saat ini hak-hak korban kekerasan seksual belum sepenuhnya terlindungi, terutama hak atas keadilan dan pemulihan. Terbatasnya tindakan kejahatan seksual yang dikenali oleh KUHP dan sistem pembuktian yang tidak berperspektif korban, menyebabkan sebagian besar pelaku kejahatan seksual bebas dari jeratan hukum. Selain itu belum adanya regulasi yang secara khusus menjamin dilaksanakannya pemulihan bagi korban kekerasan seksual, menyebabkan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual hanya berfokus pada penghukuman pelaku dan mengabaikan aspek pemulihan korban. Padahal, dampak dari tindakan kekerasan seksual tidak saja terhadap fisik, psikis dan organ/fungsi seksual korban, tapi juga terhadap keberlangsungan kehidupan korban dan keluarganya.
Atas dorongan Komnas Perempuan, Forum Pengada Layanan dan Dewan Perwakilan Daerah RI, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah mengambil langkah penting menetapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk daftar Prolegnas Prioritas 2016, dan pada tanggal 6 April 2017 telah memutuskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai RUU inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat RI. Pada tanggal yang sama DPR RI juga telah mengirimkan Draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual hasil harmonisasi Baleg DPR RI kepada Presiden RI. Dengan demikian, saat ini masyarakat Indonesia menunggu Presiden RI menerbitkan Surat Presiden (Surpres), dan menunjuk Kementerian terkait sebagai perwakilan dalam pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Mengacu kepada Pasal 49 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundang-undangan bahwa, batas akhir dari penerbitan Surat Presiden terhadap Draft RUU yang dikirimkan DPR adalah 60 (enam puluh hari) hari kerja sejak surat dari Pimpinan DPR diterima, maka pada tanggal 18 Juli 2017, Surat Presiden yang menugaskan Menteri yang akan mewakili pemerintah untuk membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bersama DPR, seharusnya sudah dikeluarkan.
Hal yang perlu menjadi perhatian publik saat ini, bukan saja tenggat waktu penerbitan Surpres tetapi juga pentingnya proses pembahasan yang melibatkan partisipasi masyarakat, terutama organisasi masyarakat yang selama ini membantu korban. Dalam pertemuan dengan Komnas Perempuan yang dihadiri oleh Menteri Sekretaris Negara, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Menteri Sosial pada tanggal 8 Juni 2016, Presiden telah menyampaikan agar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama-sama Komnas Perempuan dapat mengawal hal-hal yang sudah cukup baik dalam Draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, terutama yang mengatur pemulihan korban, tetap bisa dipertahankan. Oleh karenanya pembahasan di tingkat Pemerintah diharapkan melibatkan Komnas Perempuan.
Komnas Perempuan memandang pentingnya keterlibatan publik dalam pembahasan mengingat ada sejumlah hal yang sangat prinsip yang tidak boleh dihapus/dihilangkan Pemerintah dari Draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang disampaikan DPR, yaitu:
Oleh karenanya Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia, dalam hal ini Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dengan anggota DPR RI merekomendasikan agar:
Kontak Narasumber :
Unduh Dokumen :