Jakarta, 14 November 2022
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), sebagai lembaga nasional HAM bermandat khusus, mengapresiasi sejumlah rekomendasi terhadap RKUHP yang telah disampaikan Pemerintah dalam rapat dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 9 November 2022. Saran dan rekomendasi ini ditujukan untuk memastikan terintegrasinya perlindungan kelompok rentan dari diskriminasi dan kekerasan, antara lain perempuan termasuk lansia, anak dan penyandang disabilitas, serta memastikan pencegahan atau tidak terjadi penghukuman terhadap perempuan korban dalam norma pemidanaan yang berkaitan dengan hak kebebasan masyarakat sipil serta kekerasan berbasis gender.
RUU KUHP terdaftar sebagai Prolegnas Jangka Menengah (2020-2024) dengan Pemerintah sebagai pihak inisiator dan merupakan carry over dari periode sebelumnya. Pembahasan RKUHP akan dilanjutkan dalam Pembahasan Tingkat II, yakni pengambilan keputusan di Sidang Paripurna karena sudah melalui kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR RI dalam Pembahasan Tingkat I. Pada 2021, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, atas saran DPR RI, telah menyelenggarakan sosialisasi draf RUU KUHP per September 2019 ke beberapa wilayah. Dalam perkembangannya, pada 4 Juli 2022 Pemerintah menyampaikan kembali RUU KUHP kepada DPR RI. Komnas Perempuan telah menyusun masukan-masukan berupa Daftar Inventaris Masalah (DIM) Terpilah Tanggapan atas RKUHP per 4 Juli 2022 dan telah disampaikan kepada DPR RI dan Pemerintah, serta Kantor Staf Presiden. Pemerintah kembali melakukan dialog publik ke sebelas kota yang dimulai pada 23 Agustus 2022 untuk menghimpun masukan terutama fokus pada 14 isu krusial. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Pemerintah dengan Komisi III DPR RI tanggal 9 November 2022, Pemerintah menjelaskan bahwa RUU KUHP per 9 November 2022 yang kembali disampaikan kepada DPR merupakan hasil dialog publik.
Atas RUU KUHP per 9 November 2022, Komnas Perempuan telah membaca dan mencermati khususnya yang berkaitan dengan sinkronisasi dan harmonisasi tindak pidana kekerasan seksual, kekerasan berbasis gender, pasal-pasal berpotensi mengkriminalisasi perempuan korban, pidana mati, agama dan kehidupan beragama. Enam tanggapan utama Komnas Perempuan sebagai berikut:
a. Pasal ini menyimpang dari asas legalitas: tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan;
b. Dalam hukum yang hidup di masyarakat maupun hukum pidana adat, tidak ada kejelasan pembagian ranah pidana dan ranah perdata, serta tidak ada identifikasi jelas tentang pertanggungjawaban pidana dan identifikasi korban. Juga, tidak semua daerah masih memiliki dan menjalankan hukum pidana adat dan pranata adat.
c. Hakim sudah memiliki kewenangan berdasarkan UU Nomor 48 Tahun 2009 untuk menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat;
d. Rekomendasi pidana adat yang akan diatur dalam Perda akan mendorong maraknya peraturan daerah diskriminatif khususnya yang menyasar perempuan yang memuat ketentuan pemidanaan sekaligus sanksi pidana dan mengkriminalkan kelompok rentan. Komnas Perempuan mencatat hingga tahun 2021, terdapat 441 kebijakan diskriminatif yang merugikan kelompok rentan, khususnya yang mengatur tubuh perempuan. Pengaturan melalui Perda juga akan membuka kemungkinan lahirnya hukum yang hidup yang bersumber dari hukum agama.
e. Untuk memastikan nilai-nilai peradilan adat terintegrasi dengan sistem peradilan pidana serta tidak bertentangan dengan norma-norma HAM internasional dan Konstitusi RI.
a. Hukuman mati merupakan pelanggaran hak asasi manusia paling dasar dan tidak dapat dikurangi (non-derogable right) yakni hak untuk hidup, sebagaimana diamanatkan di dalam Konstitusi RI dan instrumen HAM internasional;
b. Dalam kasus perempuan terpidana mati, hampir seluruhnya bukan merupakan pelaku utama dan juga sebagian besar adalah korban kekerasan berbasis gender di termasuk eksploitasi seksual dan perdagangan orang yang kemudian dimanfaatkan dalam perdagangan narkotika;
c. Pemenuhan keadilan dan pemulihan untuk korban tidak dapat dipenuhi dengan pidana mati, termasuk dalam kasus-kasus kekerasan seksual.
Para pihak yang berkompeten dan aktif mendukung program pemerintah belum tentu ditunjuk pejabat berwenang (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional/BKKBN atau Dinas Kesehatan) di antaranya: kader kesehatan, tokoh masyarakat, tokoh agama terlatih, pengobat tradisional selaku pengampu kearifan lokal, lembaga masyarakat, pihak swasta penyedia layanan, serta masyarakat umum yang berupaya mengakses, mendapat dan memberikan informasi layanan kontrasepsi.
d. Perbedaan pandangan agama termasuk agama-agama lokal yang hidup adalah bagian dari keberagaman yang membutuhkan dialog terbuka dan bukan menjadi ranah pidana, kecuali terdapat unsur ujaran kebencian dan penghasutan untuk melakukan tindakan kekerasan, permusuhan dan diskriminasi.
Tanggapan di atas, selanjutnya diuraikan sebagai saran dan masukan melalui Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap Draf Pemerintah 9 November 2022 yang akan disampaikan kepada Pemerintah dan DPR RI.
3. Masyarakat sipil, pemuka agama, Akademisi, Lembaga Layanan Korban mengawal dan memberikan saran dan masukan terhadap pembahasan RKUHP.
Narasumber:
1. Siti Aminah Tardi
2. Rainy M Hutabarat
3. Mariana Amiruddin
Narahubung: 0813-8937-1400