Pernyataan Sikap
Komisi Nasional Anti Kekerasanterhadap Perempuan atas
Pengaduan Koalisi Masyarakat Peduli Kekerasan Seksual dalam Lembaga Negara
Jakarta, 1 Oktober 2021
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)mengapresiasi keberanian Sdr. MS bersama istrinya yang mengadukan kasusnya padahari Kamis, 30 September 2021. Pengaduan dilakukan secara virtual dengandidampingi oleh penasehat hukum danKoalisi Masyarakat Peduli Korban Kekerasan Seksual dalam Lembaga Negara.Pengaduan bertujuan untuk menginformasikan peristiwa kekerasan seksual yangtelah ia alami dan terjadi di kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dampak,langkah yang diambil dan perkembangan advokasi kasusnya. Sdr. MS merasa perlumelaporkan kepada Komnas Perempuan sebagai lembaga HAM yang memiliki fokus dankeahlian dalam hal kekerasan seksual untuk mendapatkan pertimbangan padasituasi yang ia hadapi, termasuk juga dampak yang dialami oleh anggotakeluarganya, dalam hal ini pada istri dan ibundanya.
Kekerasan seksual, sebagaimana dialami Sdr. MS, memiliki dampak yangbertautan secara psikis, fisik, seksual dan juga sosial ekonomi, yang jikatidak ditangani segera dapat berdampak fatal. Dalam kasus MS, pengalamankekerasan seksual ini mengakibatkannya stres, depresi, dan kesedihan berlanjut,sehingga mempengaruhi kesehatan fisiknya, seperti kerap mengalami sakit lambungdan insomnia. Dampak ini juga mengena pada anggota keluarga terdekat danmempengaruhi relasi suami istri ataupun ayah ke anak, selain pada kapasitasnyauntuk bekerja. Saat bersamaan, MS juga menghadapi penyangkalan atas kekerasanseksual yang ia alami, proses hukum yang seolah tak berujung, dan dukunganpemulihan yang terbatas.
Situasi penyangkalan yang dihadapi MS adalah menjadi bagian dari potretsosial masyarakat kita yang tengah dihadapkan pada situasi darurat seksual.Potret ini sangat dipengaruhi oleh rapeculture, suatu cara pandang di masyarakat yang mendukung atau membenarkanserangan seksual (Brownmiller, 1975; Hurt, 1980).[1] Akibatnya terjadi pembiaran secara masif dan berdurasi panjang,bahkan mengarah pada potensi keberulangan dan seolah tidak tersentuh hukum. Rape culture juga dapat terjadi di duniakerja.
Kekerasan seksual di dunia kerja penting untuk segera diatasi oleh negarasebagai bagian dari tanggung jawabnya atas hak asasi manusia. Hal ini selarasdengan mandat Konvensi ILO No. 190 untuk mengakhiri kekerasan dan pelecehanseksual di dunia kerja. Konvensi ILO 190 telah mendefinisikan kekerasan danpelecehan berbasis gender sebagai perilaku, praktik atau ancaman yangbertujuan, mengakibatkan, atau kemungkinan akan mengakibatkan kerugian fisik,psikologis, seksual, sosial dan/atau ekonomi.
Komnas Perempuan dalam lima tahun terakhir telah menerima pelaporanlangsung 2.698 kasus kekerasan seksual, 119 di antara terjadi di tempat kerja.Komnas Perempuan berpendapat bahwa semua pihak perlu dengan sungguh-sungguhmenyikapi situasi kekerasan seksual, termasuk untuk memastikan pemenuhan hakatas keadilan dan pemulihan, serta tidak berulang di masa mendatang, pada siapapun, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam kasus Sdr. MS, tampak jelas bahwapemulihan korban juga perlu diperluas kepada anggota keluarganya, yangterdampak secara tidak langsung dari peristiwa kekerasan seksual itu dansekaligus berperan penting sebagai penyokong pemulihan korban. Proses pemulihanbagi korban bukanlah sebuah proses yang terpisah dari layanan lainnya,melainkan perlu dilakukan sejak awal korban melaporkan kasus hingga korbanberdaya. Selama korban masih dianggap belum pulih, layanan pemulihan harustetap dilakukan. Pembelajaran dari kasus ini pun memperlihatkan kebutuhankorban kekerasan seksual akan payung hukum yang menjamin dan melindungi korbankekerasan seksual. Maka menjadi penting pembahasan dan pengesahan RUU TindakPidana Kekerasan Seksual.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, terhadap Kasus Sdr. MS, KomnasPerempuan menyatakan sebagai berikut:
Narasumber:
Dewi Kanti
Theresia Iswarini
Siti Aminah Tardi
Andy Yentriyani
Narahubung
ChrismantoPurba (chris@komnasperempuan.go.id)