Pernyataan Sikap Komnas Perempuan
Tentang Kasus Perkosaan di Polsek Jailolo, Maluku Utara
Usut Tuntas KasusPenyiksaan Seksual di Maluku Utara dan DukungPemulihan Korban
25 Juni 2021
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendukungpenuh upaya korban dalam memperjuangkan keadilan dan pemulihan pada kasuspenyiksaan seksual di Polsek Jailolo, Maluku Utara. Untuk itu, Komnas Perempuanmendorong pihak kepolisian, jaksa dan hakim untuk mengusut secara tuntas,mengupayakan proses hukum yang memutus impunitas sekaligus mendukung upayapemulihan korban, termasuk atas restitusi dan dukungan psikososial. Kasus inijuga menjadi pengingat pentingnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan.
Kasus perkosaan terhadap anak perempuan (16 tahun) yang terjadi di sebuahkantor kepolisian di Maluku Utara pada tengah Juni 2021 ini sungguh bukan kasuskekerasan seksual biasa, melainkan tindak penyiksaan sekual. Hal ini mengacupada Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yangKejam, Tidak manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (CAT) yang telahdiratifikasi melalui UU No. 5 Tahun 1998. Disebut penyiksaan karena selain dilakukanoleh aparat, peristiwa tersebut terjadi di tengah proses penahanan korban yangawalnya dimaksudkan untuk mengambil keterangan. Komnas Perempuan juga mencatatbahwa ada tindakan yang disengaja oleh rekan pelaku perkosaan untuk memisahkankorban dari temannya yang sebelumnya ditahan bersama. Kondisi korban jugadiperburuk dengan tindak pemerasan yang diduga dilakukan oleh aparat lain darisatuan provos.
Perkosaan dan serangan pada tubuh dan seksualitas adalah pengalaman khasberbasis gender yang dihadapi perempuan dalam konteks penyiksaan. Dalam kasusdi Jailolo, selain perkosaan, juga ditemukan adanya tindak pelecehan seksualsecara verbal saat interogasi awal terhadap korban dan teman korban yangditangkap dan ditahan bersama. Pelecehan seksual ini termasuk dengan pertanyaanyang menghakimi cara berpakaian ataupun kondisi lain yang direkatkan denganmoralitas dan seksualitas korban. Pengalaman serupa ini juga banyak dilaporkanoleh Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH) kepada Komnas Perempuan danlembaga penyedia layanan. Sebagai contoh, seorang perempuan yang ditahan karenadisangka membawa heroin 1 kg di Bandara Soekarno Hatta mengadukan bahwa sewaktupemeriksaan ia mengalami pelecehan seksual dan ancaman perkosaan oleh anggotakepolisian agar mengakui heroin tersebut adalah miliknya.
Hak untuk bebas dari penyiksaan adalah hak konstitusional yang tidakdapat dikurangi dalam kondisi apapun, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I Ayat1 UUD NRI 1945. Selain denganmeratifikasi CAT, Komitmen negara untuk pemenuhan hak untuk bebas daripenyiksaan juga tertuang a.l. dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak AsasiManusia, UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan UU No. 12 tahun 2005tentang Pengesahan Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik. Secara khusus, KeputusanPresiden No. 181 tahun 1998 yang diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuanmemandatkan penggunaan Konvensi Menentang Penyiksaan tersebut, selainKonstitusi dan Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadapPerempuan, sebagai rujukan utama dalam pengembangan kerangka kerja dalammembangun kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasanterhadap perempuan dan pemajuan hak-hak perempuan.
Namun, landasan pemidanaan untuk memutus impunitas pelaku sangatterbatas. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM hanya mengatur tindakpidana penyiksaan dalam konteks pelanggaran HAM berat. Di dalam KUHP tidakdikenal tindak pidana penyiksaan, apalagi penyiksaan seksual. Akibatnya, dalamkasus penyiksaan akan dikenakan pasal tentang kejahatan biasa. Demikian pula dengan UU Perlindungan Anak. Kasusperkosaan dalam konteks penyiksaan seksual akan masih disamakan denganperkosaan secara umum, padahal ada kekuasaan atau otoritas negara yangdisalahgunakan. Untuk mengatasi jurang hukum ini, tindak pidana penyiksaanseksual telah diusulkan menjadi bagian dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,yang meski telah menjadi prioritas legislasi 2021 namun belum jelas waktupembahasannya.
Jelang peringatan hari Anti Penyiksaan pada 26 Juni, kasus penyiksaanseksual di Jailolo merupakan pengingat keras bahwa tindak penyiksaan (seksual)tidak dapat ditolerir dan karenanya tidak boleh berulang. Berkenaan dengan itu,Komnas Perempuan merekomendasikan
a) Pihak kepolisian, kejaksaan dan pengadilan melakukan pemeriksaan secaratuntas untuk memutus impunitas pelaku penyiksaan seksual.
· Pengusutan tidak terbatas padapelaku langsung perkosaan tetapi juga kepada rekan pelaku yang turut melakukanpelecehan seksual pada saat interograsi dan turut memisahkan kedua tahanan,serta kepada aparat yang melakukan pemerasan pada korban.
· Memastikan dukungan bagipemulihan korban yang terintegrasi di semua tahapan proses hukum, sejak masapenyelidikan hingga pasca putusan, termasuk dengan memastikan hak atasrestitusi dan dukungan pemulihan psikososial;
b) Lembaga pengada layanan, termasuk jajaran Unit Pelaksana Teknis DaerahPemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (UPTD PPA) Maluku Utara danLembaga Perlindungan Saksi dan Korban memastikan jaminan keamanan dan dukunganpemulihan bagi korban;
c) DPR RI dan Pemerintah segera membahas dan mengesahkan RUU PenghapusanKekerasan Seksual yang mencakup pengaturan tegas mengenai penyiksaan seksualdan meratifikasi Optional ProtocolKonvensi Menentang Penyiksaan (OPCAT);
d) DPR RI, Pemerintah dan Masyarakat Sipil memastikan revisi KUHP memuatpengaturan tegas tentang tindak pidana penyiksaan;
e) DPR dan Pemerintah melakukan pembaharuan KUHAP yang mengatur pemeriksaanterhadap pelaku penyiksaan agar terhindar dari konflik kepentingan danmenjadikan alat bukti yg didapat dengan cara menyiksa adalah batal demi hukum;
f) Kepolisian menyusun dan menetapkan aturan pedoman menyelidiki Perempuan Berhadapan dengan Hukum denganmemastikan upaya mencegah penyiksaan dan diskriminasi berbasis gender terhadapperempuan;
g) Masyarakat sipil dan media massa mendukung upaya korban dan pendampingdalam proses hukum dan pemulihan pada kasus penyiksaan seksual di Jailolotersebut di atas dan juga dalam mendorong upaya sistemik mencegah penyiksaan(seksual).
Narasumber
Andy Yentriyani
Theresia Iswarini
Siti Aminah Tardi
Narahubung
Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)