Imarried to a wrong guy just to save my self from toxic parents and toxicpeople. I was surrounded by fake love, fake friends and fake people. They alltoxic family community. I felt anxiety and depression. It’s all because toxicreligion extreme belief. My adult life started as a single mom. I feltcommunity pressure and became target of bullying as well as sexual target. Ihave no money, no job, feel alone and don’t know about my future. I feelhopeless” (A, 22 tahun dari Myanmar, 31 Agustus 2024).
Tuturan di atas merupakanrefleksi dari seorang perempuan refugeeatas perjalanan Judul “Penantian yang Membunuh Harapan” menunjukkan kondisihidup dengan masa depan yang tak pasti termasuk aspek pemenuhan hak-hak asasiyang pokok, dari pengungsi luar negeri khususnyaperempuan pengungsi dan anak perempuan. Buku ini merupakan Laporan Pemantauan di 3wilayah yakni Cisarua Bogor (9-11 November 2023), Ciputat (6-8 Desember 2023)dan Makassar (29-31 Agustus 2024). Komnas Perempuan memandang penting melakukan pemantauan dan analisa kondisiperempuan pengungsi luar negeri dalam kerangka HAM internasional mengingatKonflik dan Bencana, merupakan salah satu isu prioritasnya pada periode2020-2024 dan berlanjut periode 2025-2029. Di sisi lain, meskipun Indonesia belummeratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Pengungsi namun terdapat interseksidengan mekanisme HAM internasional lainnya di mana negara Republik Indonesiamerupakan negara-pihak. Sejalan dengan isu Konflik dan Bencana, Komnas Perempuanjuga mengembang strategi kerja Solidaritas Internasional untuk mendukungperempuan korban-korban konflik bersenjata di manca negara yang mengalami kekerasan, kematian anak/suami/saudaradekat dan pelanggaran HAM berlapis sertaterpaksa menjadi refugees di negaralain.
Kondisi sebagai perempuan pengungsi dalamperspektif HAM dalam laporan ini menunjukkan perampasan atas hak-hak dasar manusia.Olehwarga negara tempat mengungsi, merekamendapat label “ilegal”. “When I arrivedin Indonesia, I got called by local people as illegal. It is hurting eventhough you are refugee. Being called as illegal is an insult,” ungkap M (20tahun), saat diskusi terpumpun. Illegal menunjukkan kondisistateless, adanya tindak kriminalitas dan penolakan terhadap kehadiran pengungsi.
Kondisi pengungsi ditentukan selain responcepat terkait kesediaan negara tujuan resettlement, juga hak-hak dasar yangdapat dipenuhi negara sementara. Lamanya respons dari negara resettlement berdampak padakesejahteraan pengungsi dan keluarganya baik psikis, fisik, ekonomi maupun sosial, karena Indonesia sebagai negarasementara tidak memiliki anggaran khusus pengungsi. Pemerintah pusat, menyerahkan kebijakankepada pemerintah-pemerintah daerah berikut dinas-dinas terkait dalampengelolaan kehadiran pengungsi, selain Organisasi Internasional untuk Migrasi(IOM) selaku organisasi di bawah United Nations Commissioner for Refugees (UNHCR).
Laporan ini disusun oleh Tim Advokasi Internasional dari hasil pemantauan dandialog-dialog konsultatif dengan organisasi-organisasi pendamping pengungsitermasuk IOM dan K/L terkait dan UNHCR. Hak-hak perempuan pengungsi yangmendesak menjadi perhatian pemerintah RI, di antaranya akses pada layanan pengaduan kekerasanberbasis gender terhadap perempuan dan anak perempuan, ruang aman, penanganankasus kekerasan, akses terjangkau pada layanan kesehatan komprehensif (fisik,konseling, seksual, reproduksi, maternitas), penguatan kapasitas, pekerjaanserta pendidikan berjenjang untuk anak termasuk sertifikat kelulusan.*