Konflik bersenjata dan tsunami Aceh (2004) telah meruntuhkan kehidupan masyarakat Aceh. Harapan baru muncul setelah adanya MoU Helsinki, yang diyakini dapat menghentikan konflik bersenjata. Pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh (UUPA) juga menjadi tumpuan dalam penyelesaian berbagai permasalahan Aceh. Menjadikan Aceh sebagai daerah yang aman, damai sejahtera dan adil bagi semua orang. Diundangkannya UUPA ini, menjadikan Pemerintah Aceh memiliki kewenangan yang lebih besar untuk melakukan berbagai upaya perbaikan tata kehidupan masyarakat dan tata kelola pemerintahan, termasuk perbaikan pelayanan publik.
Telah banyak hal yang dilakukan untuk mendorong kesejahteraan di Aceh. Salah satunya dengan melahirkan kebijakan yang dinilai progressif dalam menyelesaikan persoalan di Aceh, seperti lahirnya Piagam Hak Perempuan di Aceh yang dideklarasikan dan disetujui pada tahun 2008. Setahun berikutnya lahir Qanun No. 6 Tahun 2009 Tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan. Namun upaya ini belum signifikan memberikan keadilan dan kesejahteraan kepada seluruh masyarakat, khususnya bagi perempuan, anak dan kelompok rentan lainnya. Hal ini dibuktikan dengan angka kekerasan terhadap perempuan yang semakin meningkat dan layanan terhadap korban masih belum maksimal. Kebijakan-kebijakan lain yang diundangkan setelah UUPA sebagai semangat meningkatkan kesejahteraan dan keadilan, beberapa di antaranya malah diskriminatif, dan melemahkan posisi perempuan dan kelompok rentan dalam masyarakat. Piagam Hak Perempuan masih sekedar kesepakatan sereminonial di atas kertas, dan belum menjadi komitmen moral untuk terus melakukan upaya-upaya perlindungan dan pemenuhan hak prempuan. Demikian pula dengan Qanun Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan, setelah hampir 11 tahun disahkan masih menjadi kebijakan yang tidak sepenuhnya diimplementasikan. Masih banyak ketentuan yang menjadi muatan qanun belum dilaksanakan dan beberapa aturan pelaksanaan yang belum disusun, sehingga permasalahan yang cukup serius dalam pemenuhan dan perlindungan hak perempuan masih belum tertangani dengan baik.
Selain berbagai hal di atas, pluralisme Hukum Pidana yang berlaku di Aceh (Hukum Jinayat, Hukum Nasional dan Hukum Adat) juga menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya, dan seringkali menimbulkan ketidakadilan bagi perempuan. Pelaksanaan Qanun No. 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat dan Qanun No. 7 tahun 2013 Tentang Qanun Hukum Hukum Acara Jinayat, disebutkan substansi dan pelaksanaannya dapat berpotensi memberikan ketidakadilan bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum (pelanggar dan korban) karena terabaikannya pemenuhan hak bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum walau pengaturannya telah dilakukan dalam qanun.
Berdasarkan berbagai hal di atas, Balai Syura Ureung Inong Aceh (BAUIA) dan Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah (JMSPS) bersama dengan Relawan Perempuan untuk kemanusiaan (RPuK) dengan didukung oleh berbagai lembaga di Aceh, berinisiasi melakukan riset untuk melihat gambaran lebih komprehensif tentang kondisi dan permasalahan di lapangan terkait dengan palayanan yang diterima oleh perempuan yang berhadapan dengan hukum, baik sebagai korban, tersangka ataupun terhukum dilaksanakan. Riset ini dilakukan agar dapat memberikan rekomendasi pada pihak-pihak yang terkait untuk perbaikan kebijakan pelayanan serta pemenuhan hak perempuan yang berhadapan dengan hukum. Upaya peningkatan layanan bagi perempuan berhadapan dengan hukum di Aceh sangat penting agar keadilan dan kesejahteraan dapat secara merata diterima oleh seluruh masyarakat Aceh.