Kampanye “Bhinneka Itu Indonesia” mulai digulirkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2012. Kampanye ini pertama kalinya diluncurkan jelang peringatan 84 tahun Sumpah Pemuda, sebuah titik sejarah dimana anak-anak muda dengan latar belakang yang beragam, bersama-sama menyatakan diri mau menjadi sebagai satu kesatuan negara bangsa Indonesia. Dari janji ini, lahirlah Indonesia yang hari ini dihuni oleh lebih 207 juta penduduk dari lebih 300 kelompok etnis dengan 800 bahasa lokal dan dialek.
Namun, sikap saling menghormati dan merayakan perbedaan-perbedaan yang ada saat ini terasa berada di ujung tanduk. Beberapa indikasinya adalah pembiaran kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas. Kini jumlahnya telah mencapai 421 kebijakan diskriminatif, atau bertambah 32 lagi kebijakan sejak tahun 2015. Sebagian besar diterbitkan oleh pemerintah daerah untuk tujuan pencitraan daerah berdasarkan agama mayoritas. Disebut diskriminatif karena kebijakan tersebut membatasi, menghalangi dan mengabaikan jaminan pemenuhan hak asasi yang telah dijamin di dalam Konstitusi. Kebijakan diskriminatif serupa itu juga mengancam kebhinnekaan Indonesia. Bertambahnya jumlah kebijakan diskriminatif ini juga seiring dengan peningkatan sikap intoleransi dan pelanggengan pelanggaran hak kemerdekaan beragama terhadap kelompok minoritas agama.
Perempuan, secara khusus menjadi pihak yang dirugikan karena posisinya sebagai simbol komunitas dan juga dalam posisinya sebagai anggota kelompok minoraitas. Berbagai aturan diskriminatif menyasar langsung pada perempuan, menyebabkan ketidakpastian hukum dan perampasan kemerdekaan dasar. Sikap intoleransi yang disertai kekerasan menyebabkan perempuan rentan alami penganiayaan, menjadi trauma atau kehilangan orang-orang terkasihnya, menjadi kepala keluarga tunggal, pencari nafkah utama, dan mengalami pemiskinan.
Dalam situasi ini, belum lagi tampak ketegasan negara menyikapinya. Alih-alih meneguhkan Konstitusi dan merawat Bhinneka, sejumlah penyelenggara negara baik di daerah juga nasional bersembunyi di balik alasan keinginan mayoritas justru membiarkan, jika bukan turut menyuburkan kebijakan diskriminatif dan sikap intoleransi. Ada pula yang terang-terang mengatakan tak lagi ingin punya Indonesia yang tak unggulkan simbol-simbol agama dari yang paling banyak dipeluk penduduknya.
Sementara itu, masyarakat pada umumnya bersikap diam (silent majority), tidak mau bersuara karena kuatir dengan intimidasi, tidak yakin perubahan akan terjadi, ataupun karena tidak peduli. Sikap-sikap inilah menyebabkan korban tersudut dan terabaikan. Sedangkan janji bersama bangsa, untuk menempatkan Indonesia sebagai kesatuan berdasarkan penghormatan pada perbedaan yang ada di dalam masyarakatnya, menjadi terlalaikan.
Jika kondisi terus dibiarkan, jika kita tidak saling dukung ingatkan, akankah kita dapat wariskan Indonesia yang bhinneka? Menyikapi situasi Kebhinnekaan Indonesia, kampanye “Bhinneka Itu Indonesia” dimaksudkan untuk membuka ruang-ruang interaksi bagi pemudi-pemuda untuk menyatukan kepala, hati dan karya dalam kegiatan bersama dan mengajak lebih banyak orang agar peduli, dan mau turut merawat Bhinneka.
Dalam “Bhinneka Itu Indoneisa” berbagai kegaitan kampanye dapat dilakukan. Bisa saja bentuknya workshop-workshop kreatif, seperti patung, kriya, juga sablon. Bisa pula kegiatan berbincang dengan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang saat ini aktif memperjuangkan kebhinnekaan Indonesia. Juga ada panggung seni dimana kita bisa menikmati, atau juga turut tampil, dalam ekspresi musik, puisi dan pertunjukan lainnya.
Kampanye “Bhinneka Itu Indonesia” (dan perjalanannya) yang telah bergulir diantaranya;
Kampanye “Bhinneka Itu Indonesia” ini akan terus digulirkan dan berharap semakin panjang barisan setiap pihak yang bersama dalam Bhinneka Itu Indonesia. Barisan itu adalah pemudi-pemuda yang percaya bahwa Indonesia bisa ada karena kita berbeda dan hanya akan ada kalau masing-masing warga negara merdeka untuk berbeda. Hanya dengan menghormati perbedaan itu, rasa kemanusiaan dapat terpupuk.