Pada Rabu, 15Desember 2021, Komnas Perempuan menggelar “Peluncuran Instrumen TinjauUlang/Revisit Wilayah Pasca Konflik dan Kerangka Peta Jalan” denganmenghadirkan narasumber yakni Samsidar (Pangampu Tinjau Ulang InstrumenBerbasis Wilayah dan Tematik), Azriana (Pengampu Tinjau Ulang Komnas Perempuan2016-2019), Celestinus Eigya Munthe (Kementerian Kesehatan RI), Siti RuhainiDzuhayatin (Kantor Staf Presiden RI), Mahmud Syaltout Syahidulhaq (Tenaga AhliMenteri Agama) hingga Ema Rahmawati (Bareskrim Polri) dengan Siti NurwatiHodijah (Komnas Perempuan) sebagai moderator.
Andy Yentriyani, dalam sambutannya menyampaikan terkait peluncuraninstrumen tinjau ulang rumusan kertas kerja pemenuhan hak konstitusional perempuan dimana upaya membangunpeta kerja berangkat pada tahun pada 2014, menjelang 20 tahun reformasi, Komnas Perempuan berdasarkanpengaduan mengenalisituasi bahwa situasi konflikbelum berakhir, mengingatbanyak aduan masuk terkait konflik intoleransi berbasis agama minoritas. Laporanlain yang diterima KomnasPerempuan yakni situasi konflik terkait persoalan SDA,studi yang disponsori oleh Asiafoundation pada 2014, menemukan bahwa banyak negara di kawasan Asia, terjadi konflik berbasis SDA. Komnas Perempuan memandang situasi ini perlu ditelaahkembali terkait sumber konflik dan bagaimana menyikapinya untuk membangunnegara yang aman serta berkontribusi pada perdamaian dunia mengingat Indonesiamenempati posisi geopolitik yang sangat penting, sehingga keamanan Indonesiajuga mempengaruhi dinamika keamanan global. Dalam upaya melakukan telaah, KomnasPerempuan memiliki instrumen tinjau ulang terkait pemenuhan hak konstitusional,di mana memilah beberapa situasi wilayah konflik, akarmasalah serta rekomendasi baik kepada PEMDA hingga internasional, dimanawilayah penting pada tinjau ulang ini yakni konflik bersenjata di Aceh maupunPapua, konflik etnis di Kalimantan, hingga konflik SDA maupun agama di NTB.Dimana menjelang 100 tahun Indonesia, menjadi waktu yang tepat untuk memberikanperhatian khusus terkait upaya pencegahan dan penanganan konflik denganmemberikan perhatian pada kerentanan yang dialami oleh berbagai kelompokterutama perempuan dengan berbagai lintasan identitasnya.
Samsidar, sebagaipemapar pertama, menyampaikan terkait instrumen tinjau ulang (revisit) untukmengidentifikasi kemajuan dan gapdalam upaya penyikapan konflik agar bisa menyusun usulan perbaikan yangmengarah pada penyelesaian yang tuntas dan mengakar termasuk dalam upayapemajuan hak perempuan, mengingat yang menjadi urgensi yakni konflik yang terusbermunculan yang menimbulkan ancaman meskipun pada wilayah pasca konflik,sehingga meski jumlah insiden kekerasan dan korban jiwa berkurang, namuntingkat pertumbuhan tindak kekerasan yang berakibat korban jiwa tetapmengkhawatirkan, instrumen ini menggunakan pendekatan yang partisipatif,holistik, kompleks, kritis, emergent,maupun realistik, dengan enam kerangka pemikiran, seperti melawan impunitas,ekstrimisme, ujaran kebencian, perlindungan kemanusiaan, pembangunanberkelanjutan, hingga menghapus diskriminasi yang saling bersinergi danberdasar pada instrumen hukum normatif yang ada, dimana menguji dengan 5 isukrusial seperti kerentanan baru dan pencegahan konflik, budaya dan demokrasi,hingga resiliensi masyarakat dan agensi, kemudian 5 pilar penyikapan,seperti perlindungan pertanggungjawaban hukum, pemulihan korban, pencegahanhingga partisipasi.
Azriana menyampaikanterkait refleksi terhadap Penyikapan Konflik Dalam 2 Dekade Reformasi, yangdilakukan dengan melakukan kajian terhadap peraturan per-UU-an yang berkaitandengan penanganan konflik yang telah diterbitkan dalam 2 dekade reformasi,serta melakukan pemantauan ke wilayah pasca konflik. Dengan hasil kajiankebijakan tercatat bahwa selama 2 dekade reformasi, kebijakan penyikapankonflik telah berkembang dari segi jumlah maupun cakupannya, dimana pada setiapkonteks konflik, ada kebijakan yang dapat dirujuk oleh negara untukmenyikapinya, namun kerangka kebijakan yang tersedia masih memuat kesenjangan,kontradiksi dan kemunduran, yang justru menghalangi negara untuk dapatmenyelesaikan konflik secara tuntas, termasuk untuk memulihkan hak korban. Misalnyaterkait konflik bersenjata yang didalamnya dipastikan sejumlah pelanggaran HAMterjadi, meskipun negara telah menerbitkan UU No. 26 Tahun 2000 TentangPengadilan HAM, namun dari sisi subtansi maupun hukum acaranya belum bisa digunakansecara maksimal. Dalam beberapa temuan, terdapat banyak hambatan dalampelaksaan 5 pilar penyikapan, seperti dalam konteks perlindungan, tercatat sepertitidak adanya kebijakan tentang penanganan pengungsian yang bisa dijadikan acuanterutama saat terjadi konflik bersenjata, dalam konteks penanganan konfliksosial, seperti penempatan aparat keamanan seringkali menimbulkan persoalanbaru, dalam konteks pertanggungjawaban hukum, seperti tidak kunjung adanyareformasi terhadap sistem hukum pidana, dalam pemulihan, seperti penyikapanpemulihan yang sering tidak berperspektif gender kemudian dalam pencegahanseperti rata-rata penyelesaian yang tidak menyasar pada akar persoalan.
Andy Yentriyanimelanjutkan terkait isu krusial, seperti adanya kesenjangan baik di aspekkebijakan maupun implementasi, yang disebabkan oleh adanya defisit demokrasi,sehingga dalam 23 tahun belum benar-benar berhasil dalam menyelesaikan potensikonflik dikarenakan efektivitas penanganan hukum yang minim, sepertidikarenakan adanya hambatan struktural termasuk di daerah dengan infrastruktur dan anggaran terbatas, serta terkait kepemimpinanperempuan dimana bukan hanya terkait partisipasi namun juga substansi dalam memajukan kesetaraan gender, mengingatkebijakan afirmasi tidak secara utuh diadopsi. Bergerak dari isu krusial ini,terdapat 6 arah rekomendasi dari Komnas Perempuan, yakni terkait perkuatkerangka kerja seperti mendorong peran aktif PEMDA, mengembangkan cara kerja yang komprehensif,perlindungan dan pertanggungjawaban hukum seperti perbaikan payung hukum diskriminatif,pemulihan dan pembangunan inklusif seperti pentingnya inisiatif reparasimendesak, visibilitas kepemimpinan perempuan dengan memastikan mekanisme khususperempuan, hingga mengembangkan ketahanan sosial dengan memperkuat dukunganinisiatif damai.
Celestinus Eigyadalam tanggapannya memaparkan bahwa di Kemenkes sejak tahun 2010 telahmengupayakan berbagai pendekatan untuk menghapus trauma dari konflik, jugatelah mengupayakan dengan pembentukan tim psikososial di tahun 2018 yangberhubungan dengan masalah kebencanaan juga konflik, kerja sama dengan lintasorganisasi serta kementerian untuk mengupayakan terkait pemulihan, kedepannyaakan mendorong upaya pembentukan tim pembinaan Keswa masyarakat, sehinggapenguatan psikososial dapat berkelanjutan.
Mahmud Syaltoutsebagai penanggap kedua, menegaskan bahwa dari Kementerian Agama memilikiprogram prioritas seperti religiousityindex, sebagai early warning dan monitoring system, untuk mengukur bahwaagama benar dijalankan di daerah, mengingat agama sebagai inspirasi terhadap 4hal, yakni untuk menjaga kelestarian lingkungan, menjaga jiwa, menjaga komitmenterhadap kebangsaan, menjaga persaudaraan antar umat. Dimana dalam pemetaan 1tahun terakhir, terdapat 1754 kasus terkait isu lingkungan mulai dari longsorhingga pelanggaran hutan adat, 574 kasus terkait pelanggaran HAM termasuk hakpribadi, 1433 terkait konflik keagamaan seperti penolakan tempat ibadah agamalain, dimana 987 kasus terkait intra agama.
Siti Ruhaini dalam tanggapannyamenegaskan bahwa masalah pemenuhan HAM menjadi perhatian utama, dimana presidenmendorong untuk pengusut tuntasan pelanggaran HAM dengan 2 skema yaknimengajukan kembali RUU KKR dan Keppres hingga menjembatani komunikasi kebijakanantara pusat dengan daerah. Lebih lanjut, Ema Rahmawati dalam tanggapannya menegaskan bahwakepolisian telah memiliki Perkep No.8 Tahun 2009 Tentang Implementasi PrinsipHAM Dalam Tugas Kepolisian, di mana dalam penanganan konflik/bencana dibawah komando asistenpolri, terkait standarisasi pelaksanaan tugas tetap mengutamakan HAM dalampenanganan konflik dan kebencanaan yang berkolaborasi dengan pemerintah pusat daerah.