Dampak Undang-Undang Cipta Kerja terhadap Perempuan Pekerja Migran Indonesia

todayJumat, 17 Desember 2021
17
Des-2021
3.9K
0

Ditengah gelombangkrisis kesehatan Pandemi COVID-19, DPR RI mengesahkan Omnibus Law Undang-UndangCipta Kerja menjadi UU No. 11 Tahun 2020. Isu pekerja migranmerupakan salah satu isu yang tiba-tiba muncul dan disahkan dalam UU CiptaKerja sebagai bagian dari kluster ketenagakerjaan. Setelah pengesahan UU CiptaKerja, dalam tempo tiga bulan, terhitung per 21 Februari 2021, pemerintah telahmenerbitkan 49 peraturan pelaksana UU Cipta Kerja, terdiri dari 45 PeraturanPemerintah (PP) dan 4 Peraturan Presiden (Perpres). Dari sejumlah kajian,pemantauan HAM mengenai situasi PMI serta konsultasi yang dilakukan oleh KomnasPerempuan, perusahaan penempatan menjadi salah satu aktor pelaku kekerasan dandiskriminasi terhadap PMI. Komnas Perempuan juga melakukan kajian terkaitsyarat dan tata cara perizinan usaha penempatan PMI yang diatur dalam UU CiptaKerja dan aturan turunannya yakni Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2021 tentangPerizinan Berusaha Berbasis Resiko. Pada tanggal 17 Desember 2021, Dalam rangkamemperingati Hari Pekerja Migran Sedunia, Komnas Perempuan mengadakan dialog publiktentang “Temuan Awal Kajian Komnas Perempuan tentang Dampak UU Cipta Kerja terhadapPerempuan Pekerja Migran Indonesia”. Olivia Salampessy selaku Komisioner KomnasPerempuan dalam sambutannya memberikan pandangan bahwa upaya perlindunganpekerja migran memang masih mengalami hambatan. Sehingga kajian ini harapannyamemberikan jalan bagi Komnas Perempuan dalam memberikan kepastian perlindunganhukum kaum pekerja migran Indonesia khususnya perempuan.

Tiasri Wiandani selakuKomisioner Komnas Perempuan menyampaikan tujuan kajian ini salah satunya untukmenyusun rekomendasi perbaikan kebijakan dan perlindungan PMI terutama terkaitperan dan tanggung jawab P3MI kepada para pihak terkait. Mengingat meskiperempuan pekerja migran mendominasi pasar tenaga kerja migran danberkontribusi pada ekonomi rumah tangga dan negara. Perempuan PMI masih beradadalam posisi rentan dan kondisi kerja yang buruk. Konsekuensi yang dialamiyakni tingginya angka kekerasan maupun ketidakadilan terhadap perempuan pekerjamigran. Seperti sulitnya mengakses layanan kesehatan, buruknya kondisi kerjaserta munculnya rekruitmen ilegal dan masalah keimigrasian. Hal ini disebabkanoleh migrasi tenaga kerja yang cenderung berorientasi pada bisnis danmengabaikan kepentingan subyek utamanya yaitu pekerja migran itu sendiri.Perizinan usaha berbasis resiko yang diamatkan dalam UU No.11 Tahun 2021 Tentang CiptaKerja dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 secara totalmengubah Perizinan Berusaha Berbasi Lisensi P3MI yang diatur dalam UU PPMI. KomnasPerempuan juga menengarai politik hukum UU Cipta Kerja beserta PP No. 5Tahun 2021 lebih mengarahpada peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha denganmempertaruhkan kelayakan hidup keamanan dan keselamatan serta kepastian perlindunganhukum kaum pekerja migran Indonesia khususnya perempuan.

Bivitri Susanti selakuPakar Hukum Tata Negara Indonesia juga merespon Putusan MK mengenai Uji FormilUU Cipta Kerja. Ia menyampaikan bahwa dalam konteks situasi PerlindunganPekerja Migran Indonesia, perubahan pendekatan ini potensial menurunkankualitas perlindungan PMI, utamanya sebagai dampak dari pengaturan danpengelolaan P3MI. Pengaturan perizinan usaha berbasis resiko P3MI justruberpotensi mengurangi pelaksananaan tanggungjawab negara pada pemenuhan hak-hakkonstitusional. Kebijakan ini berpotensi merugikan negara dan menguntungkansektor usaha saja, karena pada muaranya kasus-kasus pelanggaran dan eksploitasiyang dilakukan P3MI penciptaan lapangan pekerjaan yang seluasnya untuk rakyatIndonesia tidak akan bisa tercapai dengan menurunkan standar pelindungan danmengakomodir lebih luas peran swasta (P3MI). Sehingga Pemerintah perlumengganti PP No. 5 Tahun 2021 agarkonsiderasinya tidak mengacu pada UU Cipta Kerja yang inkonstitusional.

Anishidayah selaku Kepala Pusat Studi Migrasi (Migran CARE) memberikan pandangannyaapabila UU Ciptaker diberlakukan, tentunya akan menimbulkan kerugian secaralangsung bagi perlindungan pekerja migran dan akan kembali pada titik masasuram perlindungan pekerja migran Indonesia saat berlakunya UU No. 39 Tahun 2004 tentangpenempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Sehingga pemerintahkedepannya harus menjalankan putusan MK secara transparan, akuntabel dan tidakmenyimpang. Selain itu, masyarakat sipil harus mengawal implementasi putusanMK, terutama sektor-sektor yang tercakup dalam UU Cipta Kerja serta pentingnyaposko pengaduan terkait implementasi putusan MK.

Dalam dialog publik ini, Satyawanti Mashudi selaku Komisioner KomnasPerempuan  menyampaikan kalimat penutupbahwa terdapat beberapa strategi dalam menentukan langkah-langkah yang akanKomnas Perempuan lakukan kedepannya terkait kajian awal ini. Serta melakukandiskusi yang intensif dalam mengantisipasi ketika keputusan tersebut telahdilaksanakan.

Pertanyaan/Komentar
clear
clear
location_on
Jl. Latuharhary No.4B 1, RT.1/RW.4, Menteng, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10310
call
Nomor Telpon/Fax
+62-21-3903963
+62-21-3903922 (Fax)
mail
Surat Elektronik
public
Ikuti Kami
privacy_tip
Disclaimer
Semua materi didalam website komnasperempuan.go.id diperuntukan bagi kepentingan HAM khususnya dalam Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia
Copyright © 2023. Komnas Perempuan