Langkah Proaktif Melalui Sosialisasi, Tanggapan dan Tindak Lanjut Kesimpulan Pengamatan Komite CEDAW Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, Kebijakan Diskriminatif dan Konflik SDA

todayRabu, 8 Desember 2021
08
Des-2021
654
0

Mengingatpentingnya menyosialisasikan Concluding Observation CEDAW khususnya terkait isu kekerasan terhadapperempuan, konflik SumberDayaAlam(SDA), kebijakan diskriminatif serta tanggapan publik terkaitpengawalan terhadap rekomendasi, Komnas Perempuan menggelar diskusi publikdengan tema “Sosialisasi, Tanggapan dan Tindak Lanjut Kesimpulan PengamatanKomite CEDAW tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, Kebijakan Diskriminatif danKonflik SDA” pada Rabu, 08 Desember 2021 dengan mengundang narasumber Rainy M.Hutabarat (Komisioner Komnas Perempuan), Satyawanti Mashudi (Komisioner KomnasPerempuan), Martha Hebi (Penulis dan Pegiat Kemanusiaan), Amelia Puhili(Yayasan Pusaka Bentala Rakyat) Valentina Ginting (Kementerian PPPA) hinggaArieska Kurniawaty (Solidaritas Perempuan).

Alimatul Qibtiyah dalam pembukaannya menyampaikan bahwa pada tanggal 15November 2021Komite  CEDAW telah mengeluarkanconcluding observation terhadaplaporan yang sudah dilakukan oleh pemerintah, sehingga diskusi ini bertujuan untuk mencermati dan menggali lebih dalamdari concludingobservationyang telah dilakukan oleh Komite CEDAW untukmengawal implementasi CEDAW di Indonesia demi menjadikan situasi yang lebihkondusif terhadap upaya penghapusan segala bentukkekerasan terhadap perempuan dan upaya pemenuhan hak-hakperempuan

Rainy M. Hutabarat dalam pemaparan materinya,menyampaikan terkait hasil dari concluding observation yang telah dilakukan, di mana Komite CEDAW mencatatbahwa terdapat 421perda diskriminatif terhadap perempuan seperti kewajibanmenggunakan jilbab, adanya RUU KUHPyang mengkriminalkan hubunganseks diluar perkawinan yang berpotensi untuk mendiskriminasi kaum minoritasseksual, adanya pembatasan hak kesehatan reproduksi dari perempuan, adanyawewenang pemda untuk mengeluarkan peraturanyang mengkriminalkan perilaku seksual tertentu berdasarkan hukum adat, hingga terkait pembatasanumur minimal untuk perempuan pekerja migran yang tidak berdasarkan hukum nasional namun sesuaidengan negara tujuan. Sehingga terkait rekomendasi Komite CEDAW kepada pihak negara, yakni seperti merevisikebijakan yang bersifat diskriminatif dalam skemawaktu yang jelas, menjamin bahwa RUU KUHP tidakmendiskriminasi perempuan, hingga dalam proses penyusunan melibatkan secara penuh partisipasi perempuan, mengingat sejak2007 Komnas Perempuan memantaukebijakan diskriminatif, dimana pada tahun 2009 terdapat 154 kebijakan, kemudian melonjakpada 2019 menjadi 421 kebijakan. TanggapanKomnas Perempuan terkait rekomendasi tersebut yakni KomnasPerempuan mendukung untuk merevisi perda yang diskriminatif dalam skema waktu yang ditetapkan dengan jelas, peningkatankoordinasi lintas kementerian untuk melakukan percepatan langkah-langkah,pembentukan tim ad hoc dengan tugasmengulas penanganan kebijakan diskriminatif agar dapatditindaklanjuti oleh pemda, hingga menguatkan mekanismejudicial review di MA.

Menyambung pembicara pertama, Satyawanti Mashudimenyampaikan terkaitkekerasan berbasis gender kepada perempuan di mana KomiteCEDAW sangat concern terkait kenaikan kasus yang terjadi kepada kelompok marginal khususnya selama pandemi, mengingat terdapatnya hambatan seperti pendefinisianperkosaan yang sangat terbatas di KUHP sehinggaterjadi kesulitan dalam upaya pemenuhan keadilan, adanya kebijakan mengkriminalkankorban KBGO melalui adanya pasal karet UU ITE dan pornografi, keterlambatan pengesahanRUU TPKS, hingga kurangnya SDM dalam program terpadu untukpenaganankorban kekerasan seksual. Sehingga Komite CEDAW merekomendasikanuntuk segera mengamandemen KUHP, UU PKDRT, maupun kebijakan lain yang relevan yang dalam pelaksanaannyaberpotensi mengkriminalisasi perempuan, termasuk dengan mengamandemenUU ITE dan pornografi yang juga untuk memastikanbahwa korban KBGO tidak dikriminalisasi. Sehingga rekomendasi yang bisa diberikan yakni: mengalokasikan sdm, financial, maupun technicalyang memadai untuk rumah aman bagi korban serta mengimplementasikansecara efektif layanan terpaduterutama untuk ruralarea, serta memastikan bahwa korban memiliki akses yang adil baik pemulihanpsikis hingga pemberian bantuan hukum. Kemudian tanggapanKomnas Perempuan terkait hal ini yakni mendukung secara penuh danmemberi penekanan kepada DPR terkait revisi RUUPKS maupun revisi KUHP, mendukung sepenuhnyarevisi UU ITE dan UU Pornografi agar tidak mengkriminalisasi perempuan korban KBGO hingga mendukung terhadap rekomendasi untukmenolak praktik terapi konversi terhadap kelompok minoritasseksual. Dalam hal ini, Komnas Perempuan menyampaikan rekomendasi, yakni meningkatkankesadaran perempuan tentang hak mereka dan cara mengaksesnya, memberikanpelatihan kepada para APH agar terdapat budaya hukum yang mendukung kesetaraanperempuan, bekerjasama dengan lembaga pemulihan korban, hingga mengintegrasikankerja-kerja sistem peradilan pidana dengan sistem layanan pemulihan korban.

Martha Hebi menyampaikan terkait kekerasan berbasis budaya,seperti persoalan kawin tangkap, praktik perkawinananak dan perjodohan, yang bahkan terjadi dalamhubungan kekerabatan serta dianggap sebagai suatu hal yang wajar, hingga dilakukannya kekerasan seksual, serta praktik perbudakan tradisionalkepada perempuan yang diakibatkan oleh adanya strata sosial, khususnya didaerah Sumba yang masih sangat kental praktiknya, namun mirisnya, banyak data terkait perkawinan tangkap hingga perjodohan yang tidak tercatat, sehingga penting untuk dilakukan upaya edukasi baik melalui kampanye, menulishingga mempublikasikan terkait praktik tersebut sehingga publik akan lebih concern, kemudian dengan caramelaksanakandialog dengan tokoh adat bahkan tokoh adatperempuan, memberikan ruangbicara untuk para penyintas, serta memberikan dukunganpsikologi baik untuk penyintas maupunpendamping korban. Lebih dari itu, juga membentuk jejaring serta menelusurimotif pelaku untuk dijadikan bahan dalam mengedukasi, hingga upaya peningkatan kesadaranterhadap APH.

Arieskakurniawati menyampaikan bahwa berdasarkan catatan pada tahun 2020,dalam peta sebaran kasus agraria yang ditangani oleh Solidaritas Perempuan,terjadi berbagai konflik SDA, seperti kasus penghancuran dan penguasaan sumberair, kasus konflik lahan, kasus pembangunan pembangkit listrik tenaga air,konflik tanah adat, dari catatan monitoring,terdapat tren peningkatan kasus konflik SDA, khususnya yang dihadapi olehperempuan, bahwa perempuan tidak hanya berhadapan dengan kuasa korporasi,bahkan juga berhadapan dengan BUMN yang notabene nya negara juga punya tanggung jawab untuk menghormati serta melindungi hakasasi perempuan. Namun berdasarkan peta sebaran, menandakan bahwa Pemerintahmasih mempertahankan konsep perkebunan skala besar warisan kolonial, yangberkeyakinan bahwa untuk meningkatkan produktivitas pertanian maupunperkebunan, perlu konsep skala besar yang artinya perempuan tidak punya kuasabaik dari modal maupun pengetahuan untuk memproduksi pangan dalam skala besar,hal ini merupakan konsep patriarki yang berkeyakinan bahwa kuasa modal danpengetahuan dipercayakan kepada korporasi yang berskala besar. Dimana denganadanya berbagai konflik agraria inilah, berdampak negatif secara berlapisterhadap perempuan, namun ketika perempuan berada di garis depan untukmempertahankan haknya, maka yang didapat adalah kekerasan oleh aparat, kemudianapabila diadakan proses resolusi konflik, maka perempuan juga tidak dilibatkandalam proses diskusi.

Lebih lanjut, Amelia Puhili menyampaikan bahwa masihterdapat keterbatasan perempuan dalam mendapatkan hak sebagai masyarakat adat,berkaitan dengan investasi, perempuan juga sebagai kelompok yang palingterdampak, mengingat perempuan jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan,serta rentan terhadap kekerasan seksual, termasuk dalam kasus yang terjadikepada masyarakat adat di Papua. Valentina Ginting sebagai pembicara terakhirmenyampaikan bahwa banyak hal yang perlu menjadi catatan, baik terkaitkebijakan diskriminatif, kekerasan berbasis gender hingga konflik sosial, untukitulah dalam hal ini pemerintah melakukan berbagai upaya yang difokuskan untukperlindungan dan pemberdayaan perempuan, baik melalui rapat koordinasi, rencanaaksi nasional, memperkuat literasi digital, pemberian pelayanan rujukan akhir,hingga MoU dengan pemerintah daerah untuk bersama-sama berkomitmen dalam upayapemenuhan hak-hak perempuan. Sehingga langkah yangproaktif dan berkelanjutan untuk menghapus nilai-nilai patriarki sangat diperlukan secara maksimal oleh banyak pihak, baikmelalui penghapusankebijakan diskriminatif untuk memastikankebijakan yang responsif gender sertapenguatan daya dukung untuk penindaklanjutan kasus kekerasan dan pemulihankondisi korban dapat diupayakan secara komprehensif. 

Pertanyaan/Komentar
clear
clear
location_on
Jl. Latuharhary No.4B 1, RT.1/RW.4, Menteng, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10310
call
Nomor Telpon/Fax
+62-21-12345
+62-21-3903922 (Fax)
mail
Surat Elektronik
public
Ikuti Kami
privacy_tip
Disclaimer
Semua materi didalam website komnasperempuan.go.id diperuntukan bagi kepentingan HAM khususnya dalam Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia
Copyright © 2023. Komnas Perempuan Build 2 (29.06.2025)