Komnas Perempuan menggelar Konferensi Pers “Penyikapan Komnas PerempuanAtas Kasus NWR” pada hari Senin, 06 Desember2021, dengan menghadirkan pemapar dari pihak komisioner Komnas Perempuan, acaradaring (virtual).
Andy Yentriyani selaku Ketua KomnasPerempuan, dalam pembukaannya menyampaikan ucapan bela sungkawa yangsedalam-dalamnya atas nama Komnas Perempuan. Kompleksitas kasus ini tentu perlu menjadi pembelajaran bagi semua pihakkarenamenjadi sinyal darurat kekerasanseksual terhadap perempuan. Bukan hanya terkait banyaknya jumlah dan variatifnya bentuk kekerasan tersebut, namun juga terkait daya penanganan yang diberikan,sehingga meskipun terdapat kasus kekerasan yang terlaporkan,namun dayapenanganan juga belum tentu dapat terwujud secara maksimal. Kompleksitas ini,tentu membutuhkan respon berbagai pihak yang mendukung upaya pemenuhan hak-hakkorban. Termasuk melalui adanya pengesahanRUU TPKS,yang menjadi kunci penting, mengingat bukan hanya untuk memutus impunitas dari pelaku, namun juga memberikan upaya penanganan yang berperspektif gender,mengingatadanya kasus yang menimpa korban NWR adalah salah satu dating violence, yang mendudukiposisi ketiga terbanyak dalam ranah privat, dimana dalam enam tahun terakhir, hampir 12 ribu kasus dariberbagai pengada layanan menerima kasus berbentuk dating violence, atau sekitar 20% daritotal kasus, namun sangat disayangkan bahwa dari pengaduan yang diterima, rata-rata berakhir pada kebuntuan, mengingat berbagaihambatan seperti adanya kriminalisasi terhadap korban, baik anggapan adanya ‘consent’ diantara kedua pihak ataubahkan tuduhan bahwa laporan korban tidak dapat diverifikasi kebenarannya.
Siti Aminah Tardi dalam hal ini menyampaikan terkait posisikasus dan langkah yang telah dilakukan oleh Komnas Perempuan.Disampaikanbahwa korban NWR pernah melakukan pelaporan kepada Komnas Perempuan pada bulan Agustus terkait kasuskekerasan seksual dan pemaksaan aborsi yang dialami korban, kemudian pada awalbulan November korban telah dikontak oleh bagian Unit Pengaduan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan, kemudian berdasarkan hasilpenelusuran informasi ketika berkontak dengankorban, disampaikan bahwa korban mengalamikekerasan berlapis dan berulangkali sejak tahun 2019, sejak pertama kali menjalin hubungan dengan pelaku, halini menjadi bukti bahwa korban telahterjebak dalam siklus kekerasan, melalui adanya eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi oleh pelaku, walaupun korban berkali-kalimenolaknya, namun berbagai cara pemaksaan yang dilakukan baik dengan meminta korban untuk meminum obat pengugur,memaksa seks ditempat yang tidak wajar, hingga dengan cara memasukkan obat ke kelamin korban.
Meskipun UPR sendiri telah menambah relawan, hingga adanya lonjakan yang membuat relawan bekerjapenuh waktu, namun uapaya pembenahan kapasitas kinerjadenganmemperbaiki sumber daya tentu tidak semata-mata mengurangi panjangnya antrian dalam penanganan kasus, sehinggahalinilah yang perlu menjadi perhatian serius untuk mengatasi hambatan dalam pelayanan terhadap korban.
Theresia Iswarinidalam penyampaiannya menegaskan bahwa berdasarkankajian sejak tahun 2020 di masa pandemi, isu tentang daya penanganan kasus kekerasanterhadap perempuan mengalami berbagai hambatan, hal ini dikarenakan berbagaifaktor, termasuk adanya perubahan layanan dari luring kedaring maupun kapasitas sumber daya untuk membantu korban, yang mengalami kegagapan yangluar biasa dikarenakan melonjaknya kasus kekerasan.
Banyaknya lembaga pengada layanan yang tidak mempunyaikeputusan, berimplikasi pada fasilitas dan kapasitas penanganan, terlebih dari aspek sumber daya yang dimiliki, baikjumlah konselor maupun psikolog. Meskipun terdapat beberapa pengada layanan yang sudah memiliki layanan konseling, namun terkait jarak, perubahan metode konseling, tentu membuat kesulitantertentu bagi para konselor, sehingga hal ini menjadi tantanganuntuk perbaikan layanan kedepannya.
Dalam hal ini Komnas Perempuan bersifat sangat terbuka dan koperatif apabilanantinya oleh pihak penyidik diperlukan keterangan dari pihak Komnas Perempuan, termasuk terkait surat yang dikirmkan olehkorban terkait detil kekerasan yang dialami sebagai bagian dari proses penyidikan. Komnas Perempuanjugapernah mengajukan permohonan audiensikepada Kapolri terkait kasus kekerasanperempuan, mengingat kepolisian adalah pintu masuk dalam upaya pemberian akses keadilan melalui jalur hukum, namun kesempatan untuk berkoordinasi masih mengalamikendala.
Menarikpembelajaran lebih jauh, Komnas Perempuanmenyampaikanperlu adanya pembenahan secarainternal, melalui beberapa langkah, seperti dengan mengembangkan sistem pemulihan yang bekerjasama dengan lembaga masyarakat sipil, kemudian dorongankepada APH agar dapat langsung berkoordinasi ketika mendapat laporan, mengingat berdasarkan CATAHUKomnas Perempuan,menunjukkan bahwa kepolisianmengalami hambatan dalam penanganan dikarenakan beberapa faktor termasuk adanya relasi kuasa yang besar,sepertipelaku yang berstatus sebagai aparatur negara. Kemudian Komnas Perempuan juga mendorong adanya upaya pemulihan berkelanjutan pada setiap lembaga baik tingkat daerah maupun nasional.Layanan komprehensif ini tentunya diharapkan dapat diwujudkan melalui pengesahan RUU TPKS.
Orang terdekat berperan pentingdalam membantu menemani korban untuk terus berjuang, baik melalui pengaduan ke lembaga terdekat, perlindungan ketika terdapatintimidasi maupun ketika adanya hambatan yang bersifat institusional seperti ketika APH lambat dalam melakukan proses hukum,dikarenakan berkaca pada kasus-kasus yangada, korban biasanya baru bisa diberikan perlindungan ketika tahapkepolisian, tentunya menjadi masalah apabilapelaku memiliki status sosial politik yang kuat. Hal ini tentu menjadi alarm mengenai betapa pentingnya dukungan kepada lembaga layanan baik di tingkatdaerah hingga nasional, serta dari adanya kasusini, seharusnya menjadi momentum bagi semua lapisan masyarakat untuk turut meningkatkankesadaran serta dukungan dalam upaya perwujudan ruang aman terhadap perempuan, mengingat dari adanya hal tersebut, berbagai kebijakan yang dibangun akan benar-benar mampu mendukung dan melindungikorban, baik layanan rumah aman, konselor, psikolog serta proses hukum yangberprespektif gender.