Pada tanggal 23-25 Mei 2022 Komnas Perempuan kembalimenyelenggarakan agenda memorialisasi Tragedi Mei ’98 di Medan, Sumatera Utara.Sebelumnya Komnas Perempuan telah melakukan agenda merawat ingatan ataumemorialisasi ini pada tahun 2021 dengan mengundang aktivis, saksi sejarah, danmedia dalam diskusi terbatas. Selain melakukan penggalian informasi terhadapkelompok tersebut, Komnas Perempuan juga menelusuri beberapa titik atau lokasiterjadinya kerusuhan Mei 98 di Medan. Beberapa lokasi yang ditelurusidiantaranya, bekas Buana Plaza Aksara, kampus Nomensen, Universitas Negeri Medan(UNIMED) hingga berakhir di DPRD Provinsi Sumatera Utara.
Tahun ini, agenda memorialiasi Tragedi Mei ’98 KomnasPerempuan bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medanuntuk menyelenggarakan seminar nasional “Melawan Lupa Kekerasan Seksual dalamTragedi Mei ‘98”. Seminar yang diselenggarakan di Ruang Sidang FIS UNIMED dibuka oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial UNIMED Dra. Nirmala Berutu., M.Pd dan dihadiri lebih dari 70 peserta yang terdiri dari mahasiswa danmedia. Narasumber yang dihadirkan diantaranya adalah Veryanto Sitohang(Komisioner Komnas Perempuan), Dr.Phil. Ichwan Azhari (Dosen Sekaligus Sejarahwan), Dr. Rosramadhana Nasution, M.Si (Dosen sekaligus saksi Peristiwa Mei ’98 di Medan) danSarma Hutajulu, SH (Anggota DPRDProvinsi Sumut periode 2015-2019)
Veryanto Sitohang menyampaikan bahwa rangkaianMemorialisasi Tragedi Mei ’98 yang diinisiasi Komnas Perempuan merupakan bagiandari Kampanye Mari Bicara Kebenaran. Kampanyeini mengajak setiap warga negara untuk membukadiri mendengarkan sejarah kelam Indonesia termasukTragedi Mei ’98 dari tutur perempuan korban. Tujuannya untuk memulihkankorban dan memastikan pelanggaran HAM masa lalu tidak terjadi lagi di masadepan. Darihasil temuan TGPF sekurang-kurangnya terdapat 85 kasus kekerasan seksualterhadap perempuan yang korbannya merupakan mayoritas dari etnis Tionghoa. Dari85 kasus tersebut ada 52 kasus perkosaan gang rape (perkosaan yangdilakukan beramai-ramai), 14 perkosaan dengan penganiayaan, 10 penganiayaanserta 9 pelecehan seksual.
Dalamkonteks Tragedi Mei ’98 di Medan, Dr. Rosramadhana Nasution, M.Si menuturkan saat peristiwa ituterjadi ia adalah mahasiswisemester 5 di IKIP (sekarang UNIMED). Ia menjadi salah satu mahasiswi yang berencanamelakukan aksi ke DPRD namun gagal karena aparat telah memblokade pintu keluar.Diketahui saat masa blokade tersebut, beberapa mahasiswi IKIP menjadi korbanpelecehan seksual oleh aparat secara verbal maupun fisik. Dampak yang ditimbulkan akibat pelecehan seksual, beberapa korban trauma, depresi dan bahkan adayang hingga berhenti kuliah. Atas peristiwa tersebut, mahasiswa dan mahasiswiIKIP melakukan solidaritas dan meminta Wakil Rektor 3 IKIP Drs. Salam Sembiring agar pelaku pelecehan seksual diadili. Aksi solidaritas mahasiswa ini didukungoleh masyarakat sekitar, demi mengawal dan mendorong penuntasan pelecehanseksual yang terjadi selama Tragedi Mei ’98 di IKIP Medan.
Narasumberselanjutnya Dr. Phil. Ichwan Azhari melalui telaahnya menyampaikan bahwaMemorialisasi Tragedi Mei ’98 ini harus didukung. Ia berharap langkah penting dalam Memorialisasi Tragedi Mei '98 akan mencegah keberulangan di masa mendatang. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam memorialiasi ini adalah melakukan kajian yang utuh mencakup bebagai informasi fakta dan perspektif. Selain itu, karya sastra juga bisa menjadi medium dalam merawat ingatan yang tidak hanya mudah diingat tetapi juga memiliki dampak yang cukup besar bagi masyarakat. Ia mencontohkan kajian dan karya sastra Tragedi Mei '98 pada disertasi Monika Arnez yang berjudul PolitischeGewalt un Macht in Indonesischer Literatur von 1945 bin zur Gegenwart (Kekerasan dan Kekuasaan Politik dalam Sastra Indonesiadari Tahun 1945 Sampai Sekarang). Tragedi Mei ’98 tidak hanya tentang tragedi kemanusiaan namun juga tonggak sejarah yang melahirkan Lembaga HAM Nasional KomnasPerempuan. Terakhir, SarmaHutajulu, SH mengatakanMemorialisasi Tragedi Mei ‘98 sangat penting untuk mendorong pertanggungjawaban negara dalam memberikan perlindungan hak-hak korban yakni hak atas pemulihan,hak kebenaran, hak atas keadilan dan hak atas reparasi korban, Laporanpelanggaran HAM yang dibuat TGPF dan Komnas HAM belum dituntaskan sepenuhnyaoleh negara. Membangun dan merawat ingatan para korban adalah upaya yang dapatdilakukan secara kolektif agar ke depan persitiwa tersebut tidak terjadi lagi. (SC)