Dalam rangkamemperingati Hari Perempuan Pembela HAM, Komnas Perempuan menggelar diskusi dengan mengangkat tema “Kriminalisasi TerhadapPembela HAM, Termasuk Perempuan Pembela Ham dan Kemendesakan LangkahPenanganannya” yang dilaksanakan pada 2 Desember 2021, bertepatan dengan HariPenghapusan Perbudakan, dimana dalam diskusi ini menghadirkan narasumberTheresia Iswarini (Komisioner Komnas Perempuan), Hairansyah (Komisioner KomnasHAM), Livia Istania Iskandar (LPSK RI), Valentina Ginting (KemenPPA) serta EraPurnamasari (Wakil Ketua Advokasi YLBHI) dan dimoderatori oleh M. SyamsulMuarif (Yayasan Perlindungan Insani Indonesia).
Andy Yentiyani(Ketua Komnas Perempuan) dalam sambutannya mengungkapkan bahwa adanya situasiyang kerap membungkam korban membuat para perempuan pembela HAM (PPHAM) memilikiperan penting untuk turut memberikan perlindungan, baik melalui pendampingandan advokasi yang dilakukan olehPPHAMsehingga dalam upaya pemajuan HAM, peran pembela HAM (PPPHAM) berkorelasi sangat kuatdengan kondisi pemenuhan HAM. Berangkat dari situasi kerentanan para PPHAM,Komnas Perempuan tidak berhenti berupaya untuk memenuhi hak para PPHAM, halinilah yang menjadi dasar pemikiran bagi Komnas Perempuan untuk menggelardiskusi dalam rangka mendorong mekanisme yang lebih baik terkait pencegahan danperlindungan kepada para PPHAM.
Dalam paparanTheresia Iswarini, berdasarkan Kajian Cepat tentang Situasi Perempuan PembelaHAM yang dilakukan oleh Komnas Perempuan, dimana didalamnya membahas terkaitkonteks kajian, tujuan dan metode, temuan dari pengaduan dan CATAHU Komnas Perempuan, temuandari pantauan media, serta rekomendasi-rekomendasi. Dalam kajian cepat ini terlihat adanya tantangan faktualdalam upaya pemenuhan HAM bahkan kepada para PPHAM sekalipun. Disampaikan oleh Andy Yentriyani, bahwaserangan terhadap PPHAMmengalami peningkatan yang signifikanbaik melalui luring ataupun daring.
Menanggapi HasilKajian Cepat tersebut, Hairansyah Akhmad, selaku Komisioner Komnas HAM yang berperan sebagai mitra penting dari KomnasPerempuan, menyampaikan bahwa kerentanan para PPHAM menjadi penting dikarenakan banyakkasus yang dipaksakan untuk dipidanakan atau dicarikan pembenaran dalam aturanuntuk menjerat para PPHAM. Penyebab kriminalisasi dan seranganterhadap para PPHAM sendiriterus terjadi dikarenakan kewajiban konstitusional yang dimilikinegara belum dilaksanakan secara maksimal berupa pemenuhan, perlindungan danpenegakan HAMyang juga tercantum dalam Pasal 28 Cayat 2 UUD 1945 terkait hak yang dijamin oleh negara maupun peran dan fungsidari lembaga negara independen yang belum memadai dalam menjalankan fungsinya,sehingga dalam konteks pencegahan, penting untuk memahami skenario dari adanyakriminalisasi terhadap PPHAM, juga penting untuk mendorong kebijakan yangmengakui serta mendukung kinerja dari para PPHAM, Komnas HAM sendiri dalamupaya pencegahan juga telah menetapkan SNP Pembela HAM, peningkatan kapasitasstaf, melakukan sosialisasi kepada publik maupun peningkatan kerjasama danjaringan dengan masyarakat sipil.
Menyambung darinarasumber sebelumnya, Livia Istania Iskandar dari LPSK RI, menyampaikan bahwa para PPHAM mengalami tantanganberganda, baik dari aktivitas maupun trauma kecemasan pribadi, hal inilah yang menjadi tantangan bagaimanalembaga independen juga bisa mewujudkan kesejahteraan bagi para PPHAM, LPSKsendiri terlibat langsung dalam upaya perlindungan dan pemulihan kepada PPHAMdalam beberapa perkara tindak pidana, seperti perlindungan kepada jurnalis yangmembuka adanya kasus korupsi lalu mendapatkan penganiayaan, perlindungan kepadaKetua LSM yang membuka praktik tambang pasir ilegal yang berakibat daridibakarnya rumah pembela HAM tersebut, ataupun perlindungan terhadap pembelaHAM yang menjadi saksi atas kasus persetubuhan dan/atau pencabulan yangkemudian berakibat pada dikeluarkannya dari sekolah, hal inilah yang menjadiperan penting dari LPSK dalam memberikan perlindugan dan pemulihan kepada parapembela HAM, mengingat mereka kerap mengalami trauma dan stress yang keraptidak mendapatkan dukungan, terlebih mereka (para PPHAM) harus menghadapi stressberlipat karena harus berhadapan dengan trauma masing-masing sekaligus berupayamemperjuangkan hak mereka dan komunitasnya.
Sepakat denganapa yang telah disampaikan sebelumnya, Valentina Ginting dari KemenPPAmengungkapkan bahwa kondisi perlindungan kepada para PPHAM masih menjaditantangan yang harus diupayakan bersama, karena perjuangan dari pihak KemenPPAtidak cukup tanpa adanya sinergitas dari lembaga terkait, baik dari KomnasPerempuan, Komnas HAM, LPSK, maupun para pemangku kebijakan lainnya. KemenPPAsendiri telah berupaya untuk menjalankan mandatnya dalam memberikanperlindungan kepada perempuan termasuk para PPHAM, terlebih dengan adanya payunghukum baik melalui ratifikasi Konvensi CEDAW, UU No 35 Tahun 2014, maupunIntruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender, hal inimenjadi dasar hukum bagi KemenPPA untuk terus mengupayakan perlindungan kepadapara perempuan termasuk PPHAM. KemenPPPA sendiri juga tengah berupayamemberikan dukungan bagi pengakuan dan perlindungan korban kekerasan seksualdengan mengawal proses legislasi RUUTPKS sebagai bukti bahwa negara hadir dalam upaya perlindungan atas segalabentuk kekerasan kepada perempuan.
Di samping mekanisme penanganan kekerasan,KemenPPPA juga memberikan perhatian dan penguatan kepada para penyintas, mengingat KemenPPA juga telah mendapatkan tugas dan fungsi tambahanimplementatif melalui adanya PerpresNomor 65 Tahun 2020 tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan PerlindunganAnak yang membuatnya memiliki fungsi sebagai penyedia layanan rujukan akhirbagi perempuan dan anak korban kekerasan yang membutuhkan perlindungan khususdan koordinasi tingkat nasional serta internasional.
Menanggapi dariapa yang telah dipaparkan oleh pemateri sebelumnya, Era Purnamasari selakuWakil Ketua Advokasi YLBHI, memberikan beberapa rekomendasi (tambahan) dalamkajian cepat, dimana perlu ada pendefinisian terkait perempuan, apakah yangsecara biologis diakui sebagai perempuan atau juga termasuk transgender yangtelah menjadi perempuan, mengingat para transgender perempuan masih seringmendapatkan diskriminasi dalam masyarakat, kemudian juga perlu adanya mapping kerentanan terhadap para PPHAM,seperti dari sisi geografis, apakah urban area lebih rentan dibandingkan daerahrural area, kemudian dipertegas terkait objeknya, apakah misalnya yang berasaldari masyarakat adat akan lebih rentan, kemudian kerentanan terhadap orang karenaprofesi, apakah ada korelasi dari profesi yang dimiliki dengan didapatkannyaperlindungan. Ditegaskan juga bahwa kriminalisasi terhadap para PPHAM bukanakar masalah sesungguhnya, namun hanya menjadi alat untuk teror, yang bukanhanya bukan hanya menyasar korban, namun juga negara hukum dan demokrasi,sehingga jangan teralihkan dari isu akar masalah, seperti adanya kasus papua,isu lingkungan, ataupun hak-hak masyarakat adat.
TheresiaIswarini dalam penutupannya menegaskan bahwa kerentanan para PPHAM harusmenjadi refleksi bagi seluruh pihak terkait upaya perlindungan kepada paraPPHAM mengingat pola kriminalisasi kepada para PPHAM saat ini cukup variatif, baikmelalui jeratan pasal ITE, tuduhan makar, penghasutan maupun pengrusakanterhadap barang. Sehingga penting bagi para pemangku kebijakan untuk merumuskanrespon, termasuk DPR sebagai lembaga legislatif untuk segera menjadikan RUUPerlindungan Pembela HAM sebagai Prioritas Legislasi Nasional. Lebih dari itu,dalam upaya perlindungan tentu membutuhkan dukungan dari semua pihak termasukmedia sebagai partner strategis, untuk lebih intens memberikan edukasi kepadapublik dan menyuarakan persoalan PPHAM serta dampaknya baik bagi PPHAM maupunkeluarga dan komunitasnya. Sehingga upaya perlindugan terhadap PPHAM dapat dilakukan secara responsif dan komprehensif.