Padatanggal 10 September 2021 lalu, Komnas Perempuan melalui SubkomisiPendidikan bekerjasama dengan Majelis PendidikanKristen (MPK) dan Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK) mengadakandiseminasi SOP PPKS secara daring. Kegiatan dibagi menjadi dua sesi. Sesi pagidengan MPK dan sesi siang dengan MNPK.
Kegiatanini merupakan puncak dari kerjasama yang selama ini telah dijalin. Kerjasamadiawali dengan dialog penjajakankerjasama sepanjang bulan Januari dan Februari, lalu dialog kesepakatankerjasama pada bulan Maret, kemudian penandatangan nota kesepahaman danperjanjian kerjasama pada awal April. Selanjutnya juga telah dilaksanakanworkshop penyusunan SOP PPKS.
Tujuan dari dilaksanakan diseminasi ini untuk menyebarluaskan informasi tentang SOP Pencegahan dan Penanganan KekerasanSeksual di Lembaga Pendidikan Kristen dan Katolik serta membangun komitmen bersama untuk menciptakanKawasan Bebas Kekerasan (KBK) di Lembaga Pendidikan.
Diskusi denganMPK dihadiri oleh perwakilan MPK wilayah dan sekolah-sekolah yang berada di bawahkoordinasi MPK. Yang bertindak sebagai narasumber dari MPK adalah Dr. Aartje Tehupeiory, S.H., M.H., CiQaR., CiQnR dan Pdt. Krise AnkiGosal. Sedangkan dari Komnas Perempuan yang menjadinarasumber adalah Dr. Nahe’i selaku komisioner Komnas Perempuan yangmenyampaikan paparan tentang urgensi kebijakan pencegahan dan penanganankekerasan seksual di lembaga pendidikan. Selain itu ada juga RidayaniDamanik, perwakilan dari PGI yang memberikan tanggapannya atas SOP yang telahdisusun.
Dalam diskusi dengan MNPK dihadiri oleh MNPK wilayahbeserta perwakilan-perwakilan dari keuskupan, dan juga sekolah di bawahkoordinasi MNPK. Komnas Perempuan, diwakili oleh Prof. Dr. Alimatul Qibtiyah,selaku ketua Subkomisi Pendidikan Komnas perempuan menyampaikansambutan dan apresiasinya terhadap kerjasama yang telah berlangsung dan terwujudnyaSOP PPKS di Lembaga Pendidikan Katolik. Narasumber dari pihak MNPK yang sejakawal terlibat dalam Kerjasama ini adalah Romo Mbula Darmin Vinsensius, Suster VeronicaTri Hartini, OFS, SE, MM, CRA, dan Marianus Dagur.
Diskusi berjalan dengan cukup efektif dan efisen dikedua sesi, para peserta sepakat tentang pentingnya SOP ini untuk menciptakan kawasan pendidikan yang bebasdari kekerasan. Sebagaimana diketahui bahwa kekerasan seksual mempunyai dampakyang sangat besar bagi korban namun di sisi lain memerlukan pembuktian yangtidak mudah.
Setiap orang berhakhidup bebas dari kekerasan dan berhak mendapatkan pendidikan seperti yangdijamin oleh konstitusi Indonesia. Sehingga lembaga pendidikan yang bebaskekerasan merupakan suatu keharusan untuk menjamin semua peserta didik,pendidik, maupun tenaga kependidikan dapat menjalankan tugasnya masing-masingdengan rasa aman*)