“Keunggulan Konvensi ILO 190 ini adalah tidak ada yang namanya buruh formal atau informal. Sejatinya, memang tidak ada yang disebut buruh informal. Kajian Konvensi ILO 190 ini mendukung hal tersebut, melingkupi ruang yang luas untuk pekerja. Setiap pekerja di sektor mana pun adalah pekerja,” demikian disampaikan Ajeng Pangesti dari Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan Di Dunia Kerja sebagai penanggap dalam peluncuran kajian bertajuk Bekerja dengan Taruhan Nyawa: Diskriminasi dan Kekeresan Berbasis Gender terhadap Perempuan di Dunia Kerja (Kajian Urgensi Ratifikasi Konvensi ILO 190 dan Rekomendasi 206 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja) pada 21 November 2022 di Jakarta. Kajian ini merupakan upaya Komnas Perempuan untuk mendorong para pihak terkait khususnya Kementerian Tenaga Kerja, kementerian/lembaga negara lainnya, institusi pemerintah dan perusaaan swasta untuk membangun dunia kerja yang bebas dari diskriminasi dan kekerasan berbasis gender.
Tanggapan Ajeng perlu digarisbawahi mengingat terdapat klasifikasi resmi tentang pekerja sebagai “pekerja formal” dan “informal”. Konvensi ILO 190 meniadakan kategori tersebut dengan melingkupi semua pekerja di berbagai sektor sebagai pekerja tanpa embel-embel formal atau informal. Konvensi ILO 190 juga memperluas lingkup kerja sebagai dunia kerja dan tak sebatas tempat kerja. Perluasan ini berimplikasi bahwa kekerasan yang terjadi di transportasi publik, kantor klien, di ruang mana pun saat menjalankan tugas, menjadi tanggung jawab perusahaan atau kantor. Impilikasi dari perluasan ini juga, bahwa kekerasan dalam rumah tangga yang terkait-paut dampak kondisi kerja yang buruk, diskriminasi atau pelecehan terhadap perempuan pekerja, dapat digolongkan sebagai kekerasan dunia kerja.
Dari serangkaian diskusi kelompok terpumpun dengan organisasi-organisasi buruh, serikat pekerja dan lembaga pengaduan pekerja, ditemukan bahwa dunia kerja bukan ruang yang bebas dari diskriminasi maupun berbagai bentuk kekerasan berbasis gender. Larangan hamil dan pelanggaran hak maternitas, misalnya, dapat berakibat keguguran, terganggunya kesehatan reproduksi yang pada akhirnya juga gangguan mental berupa depresi. Pekerja perempuan di semua sektor mengalami kekerasan dan diskriminasi, mulai dari pekerja manufaktor, pekerja rumah tangga, pekerja migran, pekerja industri kreatif, pekerja dengan disabilitas dan minoritas seksual, bahkan jurnalis yang tergolong perempuan pegiat HAM (PPHAM) pernah mengalami kekerasan dan diskriminasi. Kekerasan di dunia kerja meliputi kekerasan fisik, pelecehan seksual termasuk catcalling, kekerasan verbal, kekerasan ekonomi, kekerasan seksual di antaranya pemerkosaan dan kekerasan seksual elektronik (KSBE). Bahkan juga penghukuman yang tak manusiawi dan merendahkan martabat manusia dengan dijemur di pekarangan dan menjadi tointonan para pekerja lainnya. Sedangkan bentuk diskriminasi terhadap perempuan pekerja mencakup aspek kenaikan jabatan dan penguatan kapasitas yang lebih mengutamakan laki-laki, upah, dan hambatan berbasis gender lainnya. Pada pekerja disabilitas dan minoritas seksual, kerentanan semakin berlapis karena kondisi disabilitasnya atau stigma serta “koreksi perilaku” terhadap minoritas seksual. Sebagai contoh, pekerja minoritas seksual yang dipandang “tomboy” disuruh memanjangkan rambutnya, Pelaku kekerasan terentang mulai dari atasan, rekan kerja, supir, mandor, satpam, klien perusahaan, narasumber, pedagang di lingkungan tempat kerja, petugas mekanik, jasa penyalur, agen di dalam negeri, agen di luar negeri, petugas tahanan imigrasi, polisi, oknum pemerintah, pejabat publik, dosen, mitra kerja perusahaan, human resource development (HRD)/management, majikan, anak majikan, dan saudara dari majikan, supir angkot, mitra perusahaan, dll. Kekerasan juga bersifat struktrural/sistemik, artinya perusahaan dan negara menjadi pelaku melalui kebijakan atau regulasi.
Dampak kekerasan dan diskriminasi tak hanya dialami perempuan korban melainkan juga perusahaan sebab pada akhirnya perusahaan juga akan menanggung kerugian investasi sumber daya manusia ketika kinerja pekerjanya menurun sehingga target maupun mutu produksi tak tercapai. Selain itu, kekerasan dan diskriminasi berbasis gender juga merusak citra baik perusahaan di masyarakat termasuk publik internasional yang menjadi konsumen.
Di sisi lain, regulasi dan kebijakan yang ada belum mampu melindungi perempuan pekerja terhadap kekerasan dan diskriminasi. Temuan Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan bekerja dapat berakibat gangguan mental, keguguran dan kematian secara gradual. Hal ini menunjukkan, pengabaian atau pembiaran terhadap kekerasan dan diskriminasi merupakan pelanggaran HAM karena berakibat penderitaan berkepanjangan. Dalam konteks ini, Konvensi ILO 190 beririsan dengan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Prinsip Bisnis dan HAM tak hanya mendesak diberlakukan demi perlindunganbagi perempuan pekerja melainkan juga daya sintas serta citra baik perusahaan dan negara.
Peluncuran Laporan Kajian Urgensi Konvensi ILO 190 dilakukan secara hibrid dengan Sambutan dari Mariana Amiruddin (Wakil Kertua Komnas Perempuan). Pemapar terdiri komisioner Rainy Maryke Hutabarat dan Tiasri Wiandani dan penanggap Luluk Nurhamidah (anggota DPR); Yully Prasetyaningsih (Biro Hukum Kementerian Ketenagakerjaan); Ajeng Pangesti dengan moderator Sonya Hellen Sinombor (jurnalis harian Kompas). Peserta di antaranya mewakili Ditjen HAM, Kantor ILO Indonesia dan organisasi buruh dan lembaga layanan pekerja dari Jabodetabek. Edisi digital kajian Bekerja dengan Taruhan Nyawa dapat diunduh dari situs web www.komnasperempuan.go.id.
Rainy Hutabarat