Tahun 2017 jumlah kasus yang dilaporkan meningkat sebesar 74 % dari tahun 2016. Jumlah kasus KTP2017 sebesar 348.446, jumlah ini melonjak jauh dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar259.150. Sebagian besar data bersumber dari kasus atau perkara yang ditangani oleh PN/PA. Data inidihimpun dari 3 sumber yakni; [1] Dari PN / Pengadilan Agama sejumlah 335.062 kasus. [2] dariLembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 13.384 kasus; [3] dari Unit Pelayanan danRujukan (UPR), satu unit yang sengaja dibentuk oleh Komnas Perempuan untuk menerima pengaduankorban yang datang langsung ke Komnas Perempuan dan (4) dari divisi pemantauan yang mengelolapengaduan yang masuk lewat surat dan surat elektronik.
CATAHU 2018 ini menggambarkan beragam spectrum kekerasan terhadap perempuan yang terjadisepanjang tahun 2017. Beberapa kasus yang perlu mendapat perhatian diantaranya kekerasan terhadapperempuan di dunia maya yang mencakup penghakiman digital bernuansa seksual, penyiksaan seksual,persekusi Online dan offline, maraknya situs dan aplikasi prostitusi online berkedok agama (Misalnya,ayopoligami.com dan nikahsiri.com), ancaman kriminalisasi perempuan dengan menggunakan UUITE, serta kerentanan eksploitasi seksual anak perempuan dan eksploitasi tubuh perempuan di duniamaya.Pada tahun 2017 kekerasan seksual masih terjadi dan terus mengancam perempuan. Kasus perkosaankepada siswi SMP di Bengkulu dan anak sekolah di sebuah TK di Bogor merefleksikan bahwa anak danremaja perempuan sulit mendapatkan ruang aman, bahkan di wilayah institusi pendidikan yangseharusnya memberi melindungi mereka. Kasus-kasus pelecehan seksual di kendaraan umum, antaralain di kereta api juga menunjukkan bahwa perempuan tidak mendapat jaminan keamanan di ruangpublik. Situasi ini kembali menegaskan pentingnya pengesahan rancangan UU Penghapusan KekerasanSeksual sesegera mungkin.
CATAHU 2018 juga menyorot ancaman femisida dan KDRT terhadap perempuan dan anakperempuan. Bahkan bentuk kekerasannya semakin diperparah dengan mutilasi. Terkait dengan pelakuKTP, hal yang memprihatinkan adalah para pejabat publik dan tokoh masyarakat juga terlibat sebagaipelaku. Ironisnya, perspektif pejabat publik yang seharusnya bertanggung jawab melindungi perempuandari kekerasan, justru mengkhawatirkan dengan memberi pernyataan publik yang memojokkan korban,termasuk korban perkosaa. Tahun 2017, Politisasi spiritualitas dan agama untuk eksploitasi seksualsemakin menggambarkan bagaimana tubuh perempuan terus menghadapi ancaman kekerasan daneksploitasi seksual. Alih-alih mendapat perlindungan dan akses keadilan, perempuan korban KTP justrukerap menjadi korban kriminalisasi.