Secara keseluruhan, trend yang terjadi sepanjang tahun 2004 menunjukkan lokus dan konteks KTP terjadi: dalamrumah, dalam proses migrasi, dalam pengelolaan sumber alam, dalam konflik bersenjata, dan dalam keterkaitannyadengan politisasi agama. Secara kuantitatif, KTP paling banyak terjadi di dalam rumah. Kendati demikian, KTP jugaterjadi pada konteks lain sebagai bagian dari suatu proses peminggiran secara sistemik dalam sebuah tataran ekonomi,politik dan sosial yang lebih luas.Pada bulan Maret 2004, empat petani perempuan di Manggarai (Flores), NTT ditangkap oleh aparat pemerintahkabupaten bersama tiga petani laki-laki lain dengan tuduhan menjarah hutan ketika sedang menggali ubi dan keladiuntuk makan keluarganya. Kemarahan warga akibat penangkapan ini berkembang menjadi peristiwa Ruteng Berdarahpada tanggal 10 Maret yang memakan banyak korban. Akibatnya, jumlah perempuan yang tiba-tiba menjadi kepalakeluarga semakin besar dan membuat keluarga rentan proses kemiskinan karena perempuan janda tidak mempunyaihak atas tanah. Nasib yang sama dialami oleh perempuan Bojong, Bogor, yang ditinggalkan suaminya karena ditahanatau lari menghindari penangkapan. Warga perempuan di Buyat Pante yang mengalami gangguan kesehatan akut dankehilangan sumber penghidupan akibat pencemaran perairan di sekeliling teluk hingga kini masih belum mendapatbantuan kesehatan yang berkesinambungan.
Jadi, tahun 2004 lalu ketika publik diramaikan oleh proses kampanye dan pemilihan umum yang panjang,perempuan Indonesia menjalani hidup di rumah, pekarangan dan kebunnya penuh dengan kekerasan. Pada tahun inijuga perempuan Indonesia – sebagai pemilih, sebagai calon yang akan dipilih oleh rakyat maupun sebagai wakil rakyatdi parlemen nasional – mempersoalkan penegakan HAM di rumah-rumah pribadi dimana kekerasan terusmenghantuinya. Perempuan Indonesia berjuang melahirkan perangkat perundangan yang menyatakan bahwakekerasan dalam rumah tangga adalah masalah kita semua, dan merupakan tindak kriminal yang tidak ditoleransi olehsiapapun, termasuk negara. Sementara itu, pembahasan naskah tandingan Kompilasi Hukum Islam yang berisipemikiran progresif tentang hak-hak perempuan dalam perkawinan dihalang-halangi, bahkan kemudian ’dibatalkan’ olehMenteri Agama. Penolakan yang dilegitimasi oleh institusi negara merupakan pengingkaran atas hak warga untukberpendapat dan hak publik untuk berdialog tentang ide-ide baru. Pada tahun 2004, perempuan Indoensia membuktikanbahwa the personal is political.